Saat ini pemburuan dan bisnis tokek sedang marak, sehingga harganya begitu tinggi. Dari informasi yang berkembang, konon ada tokek harganya bisa mencapai ratusan juta, bahkan miliaran rupiah. Pemanfaatan tokek pun bermacam-macam, dikonsumsi sebagai obat dan sebagai koleksi. Untuk itu saya mau bertanya, apakah hukumnya mengkonsumsi dan mengoleksi tokek?
Wassalamu alaikum
Ahmad, Surabaya
Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuh
Memang benar saudaraku –rahimakallah- bahwa tahun-tahun terakhir ini tokek menjadi komoditas yang diburu orang. Hal itu tidak lain karena harga jualnya yang begitu luar biasa mahal, sebagaimana pengakuan pebisnis pada sebuah media cetak. Meskipun cukup populer dan menggiurkan, sikap hamba Allah yang konsisten pasti terdorong untuk mengkonsultasikan kepada al-Qur’an dan sunnah Rasulullah SAW, baik secara langsung maupun tidak langsung, misalnya melalui kaidah yang disarikan dari keduanya. Untuk itu, dalam mengkaji masalah ini dapat melalui tahapan berikut:
Pertama, kaidah dasar mayoritas ulama ushul menyatakan: ”al-Ashl fi al-asyya’ al-ibahah illa ma dalla al-dalil ‘ala al-tahrim.” Artinya pada dasarnya hukum asal segala hal adalah boleh, kecuali ada dalil yang menunjukkan keharamannya. Berdasar pada kaidah yang diambil dari berbagai ayat dan hadis ini, hukum dasar dari tokek adalah halal. Masalahnya adalah, adakah dalil yang sahih dan definitif mengenai keharamannya.
Kedua, terdapat dalil yang bersifat umum tentang pengharaman setiap hal yang buruk (khabits), sebagaimana tercantum dalam surat al-A’raf : 157. Pengharaman itu tidak terbatas pada masalah konsumsi, tetapi juga macam-macam model pernikahan, ucapan, dan perbuatan. Begitu pula berbagai ragam transaksi ekonomi (al-Sa’di,Taisir al-Karim al-Rahman, I:305, al-Nasafi, I:395). Adapun terkait dengan konsumsi hewani, al-Qur’an justru memberikan perincian sekaligus batasan yang final –alias tidak mungkin bertambah- dengan mengatakan: ”Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah”.(QS. Al-An’am:145). Ayat ini memang Makkiyyah, tetapi secara konsisten Allah menegaskan pembatasan pengharaman hewan pada empat hal ini pada ayat-ayat lain, yaitu al-Nahl:173 sampai surat periode Madinah al-Maidah:1 dan 3 serta al-Baqarah:173.
Ibn Qudamah meriwayatkan bahwa Ibn Abbas dan Aisyah r.a berpegang pada pemahaman yang demikian itu. Bahkan setelah membaca ayat 145 dari al-An’am itu Ibn Abbas berkata: ”Apa yang selain itu adalah halal” (al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, I:1612). Korelatif dengan penegasan yang berulang sampai empat kali serta pendapat Ibn Abbas itu, Imam Malik tegas berpegang bahwa yang haram dari jenis hewan adalah empat kategori tersebut. (al-Razi, al-Tafsir al-Kabir,VII:8). Konsekuensinya bila ada hadis sahih yang berindikasi pengharaman, maka harus dipahami bahwa hukumnya maksimal adalah makruh, kecuali bila berakibat madharrat (membahayakan kesehatan). Oleh karena itu, dalam madzhab Imam Malik tokek adalah halal dan boleh dikonsumsi dengan syarat disembelih secara syar’i (al-Kharsyi, Syarh Mukhtashar Khalil , I:483)
Ketiga, tak terbantahkan bahwa terdapat hadis shahih yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim dan juga para imam hadis, di mana Rasulullah menganjurkan untuk membunuh tokek. Nabi bersabda: ”Barang siapa yang membunuh tokek dengan sekali pukul, maka ia mendapatkan pahala seratus kebaikan, dan bila ia membunuhnya pada pukulan kedua, maka ia mendapatkan pahala kurang dari itu, dan bila pada pukulan ketiga, maka ia mendapatkan pahala kurang dari itu." (HR.Muslim). Sedangkan dalam riwayat al-Bukhari, Ummu Syuraik r.a mengatakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh tokek. Berdasar pada hadis ini jumhur ulama yaitu Hanafiyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah mengatakan, bahwa tokek -yang termasuk dalam hewan melata (hasyarat)- adalah hewan yang haram dikonsumsi. Alasannya, (a) karena Nabi menyuruh untuk membunuhnya, (b) tokek termasuk hewan melata yang berkategori hal-hal yang buruk (khabaits) sebagaimana tercantum dalam surat al-A’raf:157. (Wahbah, al-Fiqh al-Islamy, III:508, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah,XVII:297) serta (c) Nabi menamainya fuwaisiq (hewan kecil yang jahat), sebagaimana dalam riwayat al-Bukhari. Namun, sungguh sulit diterima akal adanya tambahan jenis hewan yang dilarang dengan hukum haram setelah empat kali ditegaskan dalam al-Qur’an, bahwa yang haram hanya empat kategori sebagaimana di atas. Sebab, adanya tambahan berarti inkonsistensi terhadap pernyataan pembatasan yang sangat kokoh dengan diulang empat kali dalam al-Qur’an.
Oleh karena itu saya pribadi cenderung kepada pendapat yang mengatakan bahwa hukum mengonsumsi tokek adalah halal tapi makruh, demikian pula dengan menjualnya. Adapun memelihara apalagi menernaknya, maka jelas-jelas bertentangan dengan anjuran Rasulullah SAW untuk membunuhnya walaupun hikmah dan alasan di balik itu perlu pembahasan tersendiri. Selebihnya, sikap bijak orang yang berusaha mengejar predikat muttaqin adalah meninggalkan dan mengorbankan kesempatan untuk menikmati sebagian yang halal -apalagi makruh-, demi menghindari hal yang bermasalah secara hukum. Nabi bersabda: ”Seorang hamba tidak akan mencapai derajat muttaqin sebelum ia meninggalkan apa yang tidak berdosa, demi menghindari yang berdosa” (HR.al-Turmudzi, Ibn Majah dan al-Hakim). Walllahu a’lam.