Hidayatullah.com--Ketika Rasulullah Shalallahu alahai wa salam bersama para sahabat, seorang lelaki asing melintas di hadapan mereka. Setelah ia berlalu, Rasullullah berkata kepada para sahabatnya, “Dialah ahli surga.” Hal yang demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali ketika orang tersebut melintas di hadapan Rasulullah.
Melihat kenyataan tersebut, sahabat Abdullah bin Umar yang dikenal kritis bertanya kepada Rasulullah “Ya, Rasulullah, mengapa engkau katakan itu kepada kami, padahal selama ini kami tidak pernah mengenalinya sebagai sahabatmu? Sedangkan terhadap kami sendiri yang selalu mendampingimu engkau tidak pernah mengatakan hal itu?”
Rasulullah menjawab pertanyaan tersebut dengan penuh bijak,‘‘Jika engkau ingin tahu tentang apa yang aku katakan, silakan tanyakan sendiri kepadanya.”
Abdullah yang mendengar jawaban Rasulullah itu semakin penasaran untuk mengetahui apa keistimewaan lelaki tersebut sehingga dia dikatakan sebagai ahli surga.
Akhirnya Abdullah berkunjung ke rumah lelaki itu sambil memperhatikan amalan yang dilakukan olehnya. Selama di sana, Abdullah tidak melihat ada yang istimewa dalam ibadah orang tersebut. Akhirnya Abdullah bertanya kepadanya,‘‘Sewaktu engkau melintas di hadapan kami, Rasulullah mengatakan bahwa engkau seorang ahli surga. Apa yang menjadi rahasiamu sehingga Rasulullah begitu memuliakanmu?'' Lelaki itu tersenyum, kemudian menjawab, “Sesungguhnya aku tidak pernah melakukan apa-apa. Aku bahkan tidak memiliki kekayaan apa-apa. Baik ilmu maupun harta yang bisa aku sedekahkan, apa yang aku miliki hanyalah kecintaan. Kecintaan kepada Allah, kepada Rasulullah dan kepada sesama manusia. Dan setiap malam menjelang tidur, aku selalu berusaha menguatkan rasa cinta itu, sekaligus berusaha menghilangkan perasaan benci yang ada kepada siapa saja. Bahkan terhadap orang-orang kafir sekalipun.”
Dari kisah tersebut dapat kita ambil pelajaran bahwa rasa cinta yang tulus terhadap orang lain bisa menyebabkan seseorang masuk surga. Sebaliknya, memelihara perasaan benci dan marah, bisa menyebabkan seseorang terjerumus dalam jurang neraka sebagaimana yang ditunjukkan Setan saat penciptaan Nabi Adam.
Dalam kisah tersebut kita tahu bahwa perasaan benci yang ditunjukkan Setan, tidak hanya mengakibatkan fitnah dan permusuhan, tetapi juga menimbulkan penyakit batin yang sangat buruk sehingga menjauhkannya dari surga.
Orang yang menyimpan perasaan benci kepada orang lain biasanya memiliki sikap mudah menyalahkan orang yang dibencinya.
Rasulullah adalah orang yang selalu menjaga rasa cinta kepada setiap orang, terutama kepada para sahabat. Di zaman Nabi, pernah ada sekelompok orang yang digerakkan oleh kaum munafik untuk mencela sahabat Rasul. Melihat hal itu Rasulullah lalu bersabda, "Janganlah kalian mencela sahabat-sahabatku. Seandainya salah seorang dari kalian menginfaqkan emas sebanyak bukit uhud, tidak akan ada yang menyamai satu timbangan (pahala) seorangpun dari mereka, juga tidak akan sampai setengahnya". (HR.Bukhari)
Pokok Masalah
Sebenarnya pokok pangkal sebuah amal tergantung kepada lidah dan hati. Diriwayatkan bahawa Lukman al-Hakim, pernah disuruh majikannya membeli daging yang baik untuk menjamu para tamunya. Lukman membeli hati dan lidah. Majikannya merasa marah dengan tindakan Lukman dan bertanya kepadanya kenapa dia membeli hati dan lidah.
‘‘Tidakkah ini daging yang baik seperti tuan pesan. Hati merupakan sumber amal perbuatan yang baik, sedang lidah dapat menjalin persaudaraan. Dari keduanya orang dapat membangun kebaikan,” jawab Lukman.
Pada satu hari majikannya kembali menyuruh Lukman membeli daging yang busuk. Tujuan majikannya ialah untuk mengetahui jenis daging apa yang akan dibeli oleh Lukman.
Ternyata, Lukman sekali lagi membeli hati dan lidah. Tindakan ini mengejutkan majikannya dan bertanya kenapa dia berbuat demikian sedangkan yang disuruh dibeli ialah daging yang busuk.
‘‘Benar tuan, ini daging terbusuk. Hati adalah daging yang paling baik dan sekaligus juga paling busuk. Ia sumber kedengkian dan rasa bongkak. Lidah merupakan ‘alat’ untuk melaknat, mencerca dan mencaci orang lain.”
Lidah merupakan cermin hati seseorang. Bila hati bersih, lidah niscaya tidak akan berkata
kecuali yang baik. Sebaliknya bila hati ‘busuk’, maka lidah akan mudah mengucapkan kata-kata yang buruk.
Oleh karena itu dalam rangka memelihara persaudaraan Islam maka kita perlu menjaga lidah untuk tidak mencaci dan memaki sesama Islam. Perbedaan apapun yang terjadi, jangan sampai menodai persaudaraan Islam.
Allah menggambarkan orang yang menjaga dalamnya persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiah), menggunakan kata ikhwah, yang berarti “saudara kandung’'. Ini berbeda dengan ikhwan, yang artinya “berteman’', sebagaimana digunakan Allah dalam surat Ali ‘Imran ayat 103, untuk menggambarkan bagaimana suku-suku Arab pada zaman jahiliah yang bermusuh-musuhan, kemudian bersatu setelah memeluk Islam.
Jadi, setelah berada dalam satu agama, setiap Muslim adalah teman bagi yang lain. Dan setelah keislaman meningkat, setiap Muslim diharuskan memandang Muslim yang lain sebagai saudara kandungnya.
Ukhuwah Islamiah yang benar sebagaimana yang digambarkan Rasulullah dalam sabdanya bahwa seorang Muslim harus dapat mencintai Muslim lain sebagaimana ia mencintai diri sendiri; bahawa seorang Muslim harus dapat merasakan kesusahan yang dialami Muslim lain. (HR. Bukhari)
Di dalam al-Quran, Allah tegas memrintahkan agar seorang Muslim tidak memusuhi, mencaci, dan berburuk sangka kepada Muslim lain. Umat Islam harus memegang teguh persaudaraan Islam sebagimana firman-Nya dalam surah Ali Imran ayat 103: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.’
Dari ayat ini bisa kita ambil hikmahnya bahwa sikap yang paling bijak ialah berusaha memperbaiki diri, sekaligus menjadi orang yang pemaaf. Sebab itulah yang selalu dilakukan Rasulullah SAW sepanjang hidupnya. Sedangkan hidup Nabi adalah contoh bagi setiap mukmin.
Semoga kita diberi kekuatan untuk senantiasa memelihara ukhuwah Islamiah. Amin.* /Sahid