AIDS di Sumatera Barat, Penyangkalan dengan Dalih Adat dan Agama


REP | 27 March 2012 |
Biar pun penyebaran HIV/AIDS sudah merata di semua negara di dunia ini, tapi di Prov Sumatera Barat (Sumbar) justru terjadi penyangkalan. Lihat saja pernyataan pemerhati sosial kemasyarakatan, Eri Gusman Awal, ini: “Saya tak yakin tingginya penderita HIV/AIDS di Sumbar ini, soalnya tatanan adat dan agama yang masih kuat sulit rasanya gejala HIV/AIDS tumbuh subur di Sumbar.” (HIV/AIDS di Sumbar Mengkhawatirkan, www.jurnas.com, 20/2-2012).

Pemerhati ini rupanya tidak melihat realitas sosial terkait dengan perilaku seksual sebagian laki-laki dewasa sebagai fakta empiris. Misalnya, perilaku kawin-cerai, beristri lebih dari satu, pelanggan PSK langsung dan PSK tidak langsung, pelanggan waria, dll. Di negara-negara yang menjadikan agama dan kitab suci sebagai UU pun tetap saja ada kasus HIV/AIDS. Arab Saudi, misalnya, sudah melaporkan 15.213 kasus kumulatif HIV/AIDS sejak terdeteksi pertama tahun 1984 sampai Juni 2011 (arabnews.com, 17/4-2011).

Dengan kasus kumulatif HIV/AIDS yang 624 terdiri atas 72 HIV dan 552 AIDS dengan 186 kematian menunjukkan penyebaran HIV pada penduduk Sumbar sudah lama terjadi. Soalnya, 552 kasus AIDS itu menunjukkan mereka sudah tertular antara 5 – 15 tahun sebelum masa AIDS. Itu artinya 552 orang yang mengidap HIV dan sudah masuk masa AIDS itu tertular HIV antara tahun 1996 dan 2006 (Lihat Gambar).

 

Realitas sosial terkait dengan perilaku laki-laki dewasa sebagai pemicu penyebaran HIV/AIDS di Sumbar justru diabaikan. Lihat saja pernyataan Marlis, Ketua Komisi IV DPRD Sumbar, membidangi kesehatan dan kesejahteraan rakyat, ini: Marlis menuding kasus pergaulan bebas menjadi pemicu peningkatan kasus ini (HIV/AIDS-pen.) dua tahun terakhir.



Agaknya Marlis berpegang pada kasus HIV/AIDS berdasakan umur yaitu 20 - 29 tahun. Tapi, fakta di balik data ini rupanya tidak sampai ke Marlis. Kasus HIV/AIDS pada rentang usia 20 – 29 tahun banyak terdeteksi pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) dengan jarum suntik. Mereka wajib tes HIV jika hendak mengikuti rehabilitasi.

Sebaliknya, kasus HIV/AIDS pada kalangan dewasa, terutama laki-laki, tidak banyak terdeteksi karena tidak ada mekanisme yang sistematis untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS pada laki-laki dewasa.

Marlis juga menyampaikan mitos yaitu ‘pergaulan bebas’. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi jika salah satu dari pasangan tsb. mengidap HIV dan laki-laki tidak memakai kondom (kondisi hubungan seksual) bukan karena ‘pergaulan bebas’ (sifat hubungan seksual).

Disebutkan: “Sumbar sebagai daerah madani dengan filosofi luhur Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah, membuat Prov Sumbar terus mawas diri terhadap gejala yang akan merusak sendi-sendi luhur masyarakatnya.”

Celakanya, kalau yang dianggap ‘merusak sendi-sendi luhur masyarakat’ adalah HIV/AIDS, maka ‘perusakan’ (baca: penyebaran) akan terus terjadi karena tidak ada langkah-langkah yang konkret untuk mencegah penularan HIV di hulu, terutama pada laki-laki dewasa, serta tidak ada pula cara yang konkret untuk penanggulangan di tataran masyarakat.

Disebutkan pula: “ …. kasus HIV/AIDS Sumbar telah di fase mengkhawatirkan sekaligus bukti pengingkaran atas norma-norma yang hidup di masyarakat.”

Apa yang dimaksud dengan ‘norma-norma yang hidup di masyarakat’?

Tidak jelas. Tapi, kalau yang dimaksud adalah larangan terhadap zina, maka tidak ada kaitan langsung antara zina dan penularan HIV. Penularan HIV melalui hubungan seksual terjadi karena kondisi hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual.

Lagi-lagi Marlis menyampaikan pendapat yang tidak akurat. Disebutkan oleh Marlis: “Itu yang terdata bagaimana yang penderita malu melapor, artinya efek negatif pergaulan bebas harus segera dikikis habis di Ranah Minangkabau ini.”

Tidak semua kasus HIV/AIDS terkait langsung dengan ’pergaulan bebas’. Pernyataan Marlis itu tersirat ’pergaulan bebas’ adalah pelacuran. Nah, yang jadi persoalan besar adalah pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung, seperti ’anak sekolah’, ’mahasiswi’, ’cewek bar’, ’cewek kafe’, ’ibu-ibu’, dll. PSK tidak langsung ini tidak kasat mata. Mereka tidak mangkal karena kontak dijalin melalui kurir, tukang becak, tukang ojek, sopir taksi, tukang parkir, atau karyawan hotel.

Pertanyaan untuk Marlis: Bagaimana Anda membasmi dengan mengikis habis PSK tidak langsung dari Ranah Minangkabau?

Yang terjadi adalah Satpol PP mengobrak-abrik ’warem’, merazia remaja di pantai, dll. Pada saat yang sama praktek pelacuran yang melibatkan PSK tidak langsung terus terjadi di sembarang tempat dan sembarang waktu.

Pemprov Sumbar dan DPRD Sumbar sudah menelurkan peraturan daerah (perda) penanggulangan HIV/AIDS.
Tapi, apakah dalam perda itu ada pasal-pasal yang menawarkan cara-cara penanggulangan yang konkret?
Kalau tidak ada, maka harapan Marlis itu ’bak punguk rindukan rembulan’. Jauh panggang dari api. ***[Syaiful W. Harahap]***

Template by:

Free Blog Templates