Oleh : Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas

Selama ini
masyarakat Timur dianggap lebih ramah, penuh perhatian sesama tetangga,
maupun tingginya semangat gotong royong. Orang-orang Minang, sebagai
bagian dari komunitas Timur, juga tak terkecuali. Orang tua Minang akan
bertanya kepada anaknya perihal teman yang selama ini kerap berkunjung
namun kini jarang kelihatan, seorang bapak atau ibu tampak risau begitu
mendapati dapur tetangganya tidak berasap disebabkan tidak punya beras
yang hendak dimasak, dan seorang murid akan berebutan membawa tas
seorang guru dalam perjalanan menuju sekolah.
Segenap persoalan ini
sesungguhnya bermuara pada gugurnya modal sosial yang selama ini
instrumental menjaga pesona orang-orang Minang baik dalam lingkup
pariwisata, intelektualitas, maupun dunia usaha, yakni pudarnya
keramahan orang Minang. Benarkah ‘urang awak’ kini tak lagi ramah,
kurang senyum, egois, dan tak berorientasikan pelayanan publik? Pelbagai
gejala menyumbang kepada redupnya keramahtamahan orang-orang Minang.
Pertama, minimnya bimbingan dan
didikan sejak dini dari keluarga. Selama ini kita menganggap
orang-orang Barat bersifat cuek, individualistik, atau nafsi-nafsi.
Pendapat demikian sebetulnya lebih bersifat stereotipikal dan parsial.
Dalam hal sektor manajemen publik, seperti dalam pelayanan masyarakat,
profil demikian sama sekali tidak dijumpai. Mereka jauh lebih atentif,
konsultatif, dan profesional. Hal ini tidak mengejutkan karena publik
Barat sudah menanamkan benih-benih pelayanan sejak dini di keluarga.
Anak-anak kecil di Amerika, Inggris, Australia dan lain-lain dibiasakan
untuk menyatakan thank you (terima kasih), I’m Sorry (maaf), dan please
(tolong). Konsekuensinya mereka sudah terbiasa dengan etos
sportivitas dan profesionalisme dalam interaksi sosial lebih lanjut.
Sayangnya kita tidak
membiasakan anak-anak kita di ranah Minang sedari fajar untuk
mengucapkan terima kasih dalam banyak hal atas kebaikan pihak lain,
meminta maaf bila berbuat salah, dan mengucapkan kata ‘tolong’ di saat
butuh bantuan orang lain. Akibatnya, begitu dewasa mereka sulit
mengucapkan ungkapan terima kasih dalam hubungan sosial. Perhatikanlah!
Seorang pramuniaga di supermaket, petugas SPBU, atau teller di loket
kantor-kantor pemerintahan jarang sekali mengucapkan ‘terima kasih’
kepada masyarakat (baca: konsumen) ketika membayar produk atau jasa
mereka. Seorang petugas pusat informasi (Information Center)
enggan meminta maaf atas keluhan publik menyangkut mutu layanan
instansinya tempat bekerja atau setengah hati bekerja, seperti berbicara
dengan konsumen sambil membalas sms di telepon genggam.
Kedua, lemahnya pemahaman
tentang komunikasi publik dan komunikasi lintas budaya. Lemahnya etos
pelayanan para birokrat atau abdi negara di pelbagai instansi
pemerintahan urang awak tak bisa dilepaskan dari tiadanya wawasan yang
memadai tentang komunikasi publik dan antar-budaya dalam menjalankan
tugas pelayanan publik. Lihatlah bagaimana sulitnya mendapati aparatur
negara di Sumatera Barat ini yang bekerja dengan senyum tatkala
berhadapan dengan khalayak. Ini wajar saja mengingat mereka jarang,
bahkan mungkin tak pernah, mendapatkan diklat seputar komunikasi publik
dan antar-budaya. Cermatilah Diklat Prajabatan yang wajib diikuti oleh
calon pegawai negeri sipil. Kebanyakan materi yang diperoleh tidak
mengalami perubahan yang berarti, seperti Pancasila, UUD 1945, Wawasan
Nusantara, dan lain-lain. Sah-sah saja materi itu diberikan demi
kebutuhan penguatan nasionalisme. Hanya saja materi yang tak berimbang
dengan materi-materi aktual akan menimbulkan kesan bahwa para CPNS kita
cenderung mengalami doktrinisasi alih-alih mengalami pencerahan lewat
materi-materi segar demi mengejar kemajuan zaman.
Oleh karena itu, perlu ada
rekayasa sosial berupa kebijakan pemerintah propinsi, kota atau
kabupaten di Sumatera Barat lewat kerja sama dengan perguruan tinggi
untuk mengawal kinerja PNS di banyak di dinas lewat pemberdayaan
bagian personalia atau SDM. Para aparat, terutama yang berada di garda
depan pelayanan publik (frontliner) perlu dilibatkan secara
serius dengan training komunikasi publik dan lintas-budaya. Training
ini fungsional bukan saja untuk meningkatkan etos profesionalisme
layanan publik tapi juga untuk menciptakan generasi-generasi aparat
negara yang berwawasan global yang jauh dari kecenderungan menghakimi,
stereotipikal, dan parokial di Ranah Minang sendiri.
Ketiga, lemahnya tradisi
merantau orang Minang. Tradisi merantau meninggalkan kampung halaman
untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik sudah mendarah daging bagi
orang Minang. Bukan saja bermanfaat secara ekonomi, merantau telah
berperan membentuk orang-orang Minang menjadi inklusif, terbuka, siap
bekerja sama dengan pihak lain dan jauh dari kesan ingin menang sendiri.
Sebagai seorang perantau, seorang Minang akan berupaya membangun
hubungan baik dengan masyarakat di mana ia berdomisili, bekerja, atau
berusaha. Sebagai pedagang ia mudah senyum demi menggait pelanggan.
Bila bekerja di lembaga pemerintahan, ia menjaga betul hubungan baik
dengan sesama rekan dan atasan sehingga karirnya meroket dalam waktu
yang cepat. Tak heran bila kondisi demikian menjadikan orang-orang
Minang yang merantau ke daerah lain menjadi lebih kooperatif, tak gagap
bergaul dengan orang berbudaya apapun, serta lincah. Mereka paham untuk
bisa bertahan perlu mengejawantahkan pameo ‘di mana bumi di pijak, di sana langit dijunjung’. Masuk akal bila tak akan ditemukan kampung Minang atau Padang di manapun. Eksklusifisme bukanlah jati diri orang Minangkabau.
Keempat, individualisme yang
salah kaprah membuat keramahan sebagai barang langka. Banyak yang
menyalahkan pengaruh teknologi dan informasi sebagai salah satu pemegang
saham redupnya keramahan orang Minang. Pendapat ini sangat salah kaprah
karena secara historis orang-orang Minang paling siap menerima
modernisasi. Di zaman penjajah, ketika orang-orang masih bersikukuh
mengenakan pakaian tradisional mereka sebagai perisai budaya,
ulama-ulama Minang sudah mengenakan dasi dan jas ketika berfoto.
Sumatera Barat juga tercatat sebagai daerah pertama yang menerima
modernisasi pendidikan Belanda dibandingkan daerah-daerah lain di
Nusantara. Lalu masalahnya di mana? Fenomena yang sesungguhnya terjadi
adalah kesalahpahaman menerjemahkan individualisme. Individulisme
yang secara prinsip berarti kemandirian, “stand on your own two feet”
(berdiri di atas kaki sendiri) mengalami reduksi kepada kesombongan.
Menjadi individualis tak harus menjadi pongah dan egois. Di sinilah
kemudian teknologi mengukuhkan hubungan sosial yang rapuh. Bukankah
sering kita jumpai seorang mahasiswa yang lebih memilih membalas sms
temannya yang jauh entah di mana dibandingkan ngobrol dengan teman
sebangkunya ketika naik bus kota? Wallaahu a’lam.
[ Red/Administrator ]