Said Agil Husin Munawwar adalah Ulama Intektual yang
banyak memiliki keahlian sehingga aktifitasnya pun menjadi sangat beragam,
sosok ysng dibutuhkan banyak orang, enak diajak bicara dan bersuara merdu, ia
lahir di kampung 13 Ulu Palembang pada tanggal 26 Januari 1954 Ayahnya bernama
Habib Husin Bin Agil bin Ahmad al-Munawwar lahir 13 Desember 1932, wafat 13
November 1989, ia adalah seorang tokoh Habib yang dihormati di Palembang.
Sedangkan
ibunya Syarifah Sundus binti Muhammad al-Munawwar wafat 20 Februari 2001, ibu
Sai Agil Husin Munawwar adalah ibu rumah tangga yang shalihah dan bijaksana,
sehingga bisa mengantarkan sang anak seperti Said Agil Husin Munawwar menjadi
seorang Hafidz, Qari’, pakar Fiqih dan Ushul Fiqh serta pengajar pescaserjana
di berbagai perguruan tinggi juga muballigh dan pengisi berbagai acara di
televise, juri MTQ tingkat Internasional di berbagai Negara
Biodata :
Nama : Prof. Dr. H. Said
Agil Husin Al Munawar, MA Lahir : Palembang, 26 Januari 1954 Isteri : Dra. Hj.
Fatimah Abu Abdillah Assegaf; Anak : Afaf, Fahed, Tsoroyo, Lulu, Faisal, dan
Husain; Ayah : (Alm) K.H. Sayyid Husin bin Agil Ahmad Al Munawar; Ibu : (Almh)
Hj. Syarifah Sundus (Utih) binti Muhammad Al Munawar
Pendidikan :
1) Madrasah
Ibtidaiyah Munawariyah 13 Ulu Palembang, 1966
2) Sekolah
Dasar Negeri 8 Palembang, 1967
3) Madrasah
Tsanawiyah AI Ahliyah (4 tahun) Palembang, 1969
4) Sekolah
Persiapan Universitas Islam AI Ahliyah (SPUI) Palembang, 1971
5) Sekolah
Persiapan IAIN Raden Fatah (SPAIN) Palembang, 1971
6) Fakultas
Syari'ah IAIN Raden Fatah Palembang, 1974
7) LML
Fakultas Syari’ah Universitas Islam Madinah Arab Saudi, 1979
8) Master
of Art (MA) Fakultas Syari'ah Universitas Ummu AI Quro Makkah Saudi Arabia,
1983
9) Ph.D.
(Doctor) Fakultas Syari’ah Unversitas Ummu AI Quro Makkah Saudi Arabia, 1987
Karir Sebagai Pengajar :
1) Dosen
tetap Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1989 – sekarang
2) Dosen
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1989 – sekarang
3) Dosen
Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 1989 – sekarang
4) Dosen
Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol, Padang, 1996 – sekarang
5) Dosen
Program Pascasarjana IAIN Sumatera Utara, Medan, 1996 – sekarang
6) Dosen
Program Pascasarjana IAIN Sulthan Syarif Qasim Pekanbaru, Riau, 1996 – sekarang
7) Dosen
Program Pascasarjana IAIN Suroh Ampel, Surabaya, Jawa Timur, 1997 – sekarang
8) Dosen
Program Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saefuddin, Jambi, 1998 – sekarang
9) Dosen
Program Pascasarjana IAIN Raden Fatah, Palembang, 2000-2001
10) Dosen
Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta, 1996 – sekarang
11) Dosen
Program Pascasarjana Universitas Islam, Malang (UNISMA), 1996 – sekarang
12) Dosen
Program Pascasarjana Institut Ilmu AI-Qur'an (IIQ), Jakarta, 1998 – sekarang
13) Dosen
Program Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu AI-Qur'an (IIQ), Jakarta, 1998 –
sekarang
14) Dosen
Program Pascasarjana Universitas Darul Ulum, Jombang, 1999-2000
15) Dosen
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2001
16) Dosen
Sekolah Tinggi Ilmu Syari'ah Darunrojah (STISDA), 1990 – sekarang
17) Dosen
Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Darul Ma'arif, Jakarta, 1992 – sekarang
18) Dosen
Institut Ilmu AI-Qur'an (IIQ), Jakarta, 1990 – sekarang
19) Dosen
Perguruan Tinggi Ilmu AI-Qur'an (PTIQ), 1990 – sekarang
20) Dosen
Fakultas Syari'ah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1994 – sekarang
21) Dosen
Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1991-1995
22) Sekolah
Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) sekarang Sekolah Tinggi Ilmu Agama (STAI)
Al-Hikmah, Jakarta, 1993 – sekarang
23) Dosen
Fakultas Syari'ah Institut Agama Islam Jami'at Khair, Jakarta, 1990 – sekarang
24) Dosen
Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1992-1995
25) Dosen
Fakultas Dakwah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1993 – sekarang
26) Dosen
Ma'had 'Alij Pondok Pesantren Salafiah Situbondo, Jawa Tlmur, 1993 – sekarang
27) Dosen
Pendidikan Kader Ulama (PKU) Majelis Ulama Indonesia Pusat, 1990-1998
28) Dosen
Pendidikan Kader Ulama (PKU) Majelis Tafqquh Fi Al-Din (Majelis Ulama
Indonesia) Jakarta, 1991-1997
Karir dalam Kelembagaan :
1) Ketua
Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta,
1991-1998
2) Direktur
Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1999- sekarang
3) Ketua
Program Studi Tafsir-Hadis Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1998
– sekarang
4)
Rektor Institut Agama Islam
Jami'at Khaer, 1997 – sekarang Alamat Kantor : Jalan Lapangan Banteng Barat
No.3-4, Jakarta Pusat
Alamat Rumah
1) Jl.
Dewi Sartika, Gg Masjid No. 61 Rt.003/04 Cimanggis, Ciputat 15411 Alamat Rumah
2) Jl.
Widya Chandra III No. 12A, Jakarta
Riwayat Hidup
Setelah berkeluarga, semangat
belajarnya tak pernah berkurang, apalagi hilang.
Qari
andal, hafizh Al-Quran, pakar fiqih dan ushul fiqh, pengajar pascasarjana di
berbagai perguruan tinggi, muballigh dan pengisi berbagai acara di televisi,
juri MTQ tingkat internasional di berbagai negara. Itulah sebagian di antara
sederet atribut dan aktivitas yang disandang Prof. Dr. Habib Said Agil Husin
Almunawar.
Selalu Meraih Peringkat Pertama
Setiap
orangtua tentu menginginkan anaknya maju, berhasil melebihi dirinya, paling
tidak seperti dirinya. Demikian pula orangtuanya, yang sangat menginginkannya
menjadi penerusnya. Dalam menanamkan nilai-nilai hidup, orangtuanya
melakukannya melalui pendidikan formal dan nonformal.
Untuk
pembinaan secara nonformal, ia “dititipkan” kepada para tokoh ulama habaib,
termasuk guru ayahandanya sendiri, Habib Alwi bin Ahmad Bahsin. Berbagai kitab
ia pelajari kepadanya.
Prestasinya
di setiap jenjang pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga SPUI Al-Ahliyah,
sangat menonjol, selalu meraih peringkat pertama.
Ketika
mengikuti pendidikan di SPUI Al-Ahliyah, pada saat yang sama ia juga belajar di
Sekolah Persiapan IAIN (SPIAIN) Raden Fatah Palembang.
Saat
lulus SPUI dan SPIAIN, usianya masih relatif muda, di bawah 17 tahun, karena ia
pernah melompat kelas, hanya tiga bulan di satu kelas dan langsung dinaikkan ke
kelas berikutnya. Kebanyakan calon mahasiswa yang mendaftar di IAIN berusia
sekitar 18-19 tahun, sedangkan umur Said Agil masih di bawah itu. Tapi pihak
IAIN tidak dapat menolak, karena ia mempuyai ijazah sekolah agama dan sekolah
negeri. Bahkan akhirnya kedua ijazah itu menjadi modal baginya untuk masuk
perguruan tinggi itu tanpa test.
Ia
diterima di Fakultas Syariah IAIN Raden Fatah dan kemudian meraih gelar sarjana
muda tahun 1974 dengan predikat cum laude. Setelah itu, ia memiliki keinginan
untuk dapat kuliah di luar negeri. “Jika orang bisa, kenapa saya tidak bisa?”
katanya. Apalagi ayahnya juga membolehkannya kuliah di luar negeri. Kalau masih
sekolah di dalam negeri, apabila harus berpisah dengan orangtua, ia tidak
diizinkan. Ini karena ia anak pertama, yang diharapkan dapat menjadi pengganti
sang ayah, sehingga harus mendampinginya, sebagai persiapan dan pengalaman
baginya.
Karena
itulah ia tidak pernah mondok di pesantren di Indonesia. Bagi ayahnya, belajar
di mana saja sama, jadi tidak mesti belajar di pesantren. “Kamu belajar di
Palembang sama saja dengan di tempat-tempat lain,” katanya. Ya, sebagai anak
pertama ia memang disiapkan untuk menjadi penggantinya. Tak mengherankan bila
di usia empat belas tahun ia sudah mengajar di sekolah untuk membantu ayahnya.
Karena
mendapatkan lampu hijau dari sang ayah, ia pun segera mencari
informasi-informasi tentang beasiswa belajar ke luar negeri.
Hasilnya
sungguh menggembirakan. Tak tanggung-tanggung, ia mendapatkan lima beasiswa
untuk belajar di lima negara: Kuwait, Qatar, Iran, Mesir, dan Arab Saudi. Maka
melaporlah ia kepada sang ayah.
“Bagaimana
ini, Abah, sudah dapat beasiswanya?”
Mendengar
itu, sang ayah bukannya senang, tetapi tampak bingung. Bukan bingung untuk
memilihkan salah satu dari lima pilihan itu. Yang dipikirkannya, kalau anak
yang menjadi harapannya ini jadi belajar ke luar negeri, sebentar lagi ia akan
ditinggalkan.
Sebenarnya
bukan hanya sang ayah yang agak berat melepasnya. Perasaan yang sama juga
dirasakan oleh Habib Agil sendiri, karena ia juga tak pernah berpisah dengan
orangtua, meskipun sangat ingin belajar di luar negeri
Tapi
kemudian ia bertanya, “Mau pilih yang mana?”
“Mau
pilih Saudi saja, di Madinah saja,” jawab Said Agil.
“Mengapa?”
“Agar
kita bisa lebih mudah bertemu atau berkomunikasi. Lagi pula kalau Walid butuh
kitab-kitab, lebih mudah mengirimkannya.”
Maka
kemudian berangkatlah Said Agil ke Arab Saudi memulai lembaran baru dalam
kehidupannya, belajar di negeri orang dan berpisah untuk sementara dengan kedua
orangtuanya. Dua hal yang sama-sama baru baginya. Ia kuliah di Fakultas Syariah
Universitas Islam Madinah, universitas Islam tertua di Arab Saudi.
Selama
empat tahun ia menimba ilmu di universitas itu hingga akhirnya mendapatkan
gelar LML, sebuah predikat untuk lulusan jurusan hukum Islam. Ia lulus 1979
dengan cum laude dan memperoleh hadiah uang sebanyak seribu riyal dari Raja
Arab Saudi.
Karena
kemampuan dan prestasinya yang sangat menonjol, ia pun dicalonkan oleh
universitas untuk mengikuti ujian S2 di universitas itu.
Tapi
ia punya keinginan masuk ke perguruan tinggi yang lain, untuk mengubah suasana.
Pilihannya jatuh pada Universitas King Abdul Azis di Makkah, cabang Universitas
King Abdul Azis Jeddah. Ujian masuk ke universitas itu sangat ketat, tapi
alhamdulillah ia lulus.
Tahun
1980 sambil mengurus penggantian visa sesuai perubahan tempat kuliahnya, ia
pulang dan menikah dengan Syarifah Fatimah Abu Abdillah Assegaf, kelahiran
Tigeneneng, Lampung Selatan, 27 Mei 1957. Setelah menikah, sang istri
diboyongnya ke Makkah.
Selama
di Makkah mereka dikaruniai empat dari enam anak mereka, yakni Afaf (1981),
Fahd (1983), Tsuroya (1984), dan Lulu (1986). Sedangkan dua anak mereka yang
terakhir lahir di Jakarta, Faisal (1988) dan Husain (1991).
Pada
tahun 1982 ketika ia sedang memulai tesis, Universitas King Abdul Azis Makkah
berubah menjadi Universitas Ummul-Qura Makkah, dan terpisah dari Universitas
King Abdul Azis Jeddah. Master of Art dari universitas ini diraihnya tahun
1983.
Setelah
itu, meskipun telah berkeluarga, semangat belajarnya tak pernah berkurang,
apalagi hilang. Ia terus melanjutkan pendidikannya ke jenjang S3 hingga
akhirnya tahun 1987 memperoleh gelar Ph.D. dengan spesialisasi hukum Islam.
Berguru Kepada Syaikh Yasin Al-Fadani
Selama
di Arab Saudi, Habib Said Agil bukan hanya menuntut ilmu di bangku kuliah. Ia
menyadari benar bahwa di luar kampus masih sangat banyak sumber ilmu. Maka ia
pun tak menyia-nyiakan itu, dengan belajar kepada para tokoh ulama yang ada di
sana. Tokoh-tokoh seperti Habib Abdul Qadir bin Ahmad Assegaf, Sayyid Muhammad
bin Alwi Al-Maliki, Syaikh Yasin Al-Fadani, adalah sebagian di antara
sumber-sumber ilmu yang sempat ia hirup ilmunya.
Hubungannya
dengan para tokoh ulama tersebut sangat dekat dan banyak kisah dengan mereka
yang selalu dikenangnya. Dengan Syaikh Yasin, misalnya, sampai setengah bulan
sebelum wafatnya, ia masih sempat bertemu dengannya. Syaikh Yasin kala itu di
antaranya mengatakan demikian, “Agil, kaki saya ini sudah bengkak-bengkak.”
Saat itu kondisi kesehatan Syaikh Yasin memang sudah sangat lemah. Dalam
kesempatan itu Syaikh Yasin memberikan wasiat macam-macam kepadanya. Di
antaranya, pesannya untuk terus mengembangkan ilmu dan ijazah yang
diberikannya, di mana saja ia berada. Secara khusus Syaikh Yasin menekankan
untuk terus mengembangkan ilmu hadits. Di majelisnya Habib Said Agil mengikuti
pengajian yang di antaranya membaca kutubus sittah. Yakni, kitab hadits yang
menjadi induk atau standar buah karya enam orang imam muhaditsin: Shahih
Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Daud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasai, dan
Sunan Ibnu Majah.
Kedekatannya
dengan Syaikh Yasin membuat Habib Said Agil sempat pula mengajar di Darul Ulum,
madrasah yang ia pimpin, selama empat tahun, 1983 sampai 1987. Materi yang
diajarkannya adalah tafsir, tajwid, dan tahfizhul Qur’an (menghafal Al-Quran).
Di
bawah bangunan madrasah ini terdapat perpustakaan Syaikh Yasin. Kitab-kitab
langka banyak terdapat di situ. Mungkin ia sudah merasa bahwa kitab-kitabnya nanti
akan dikuasai orang. “Agil, kitab-kitab ini dibawa pulang saja.”
Sayangnya,
Habib Said Agil tak memanfaatkan tawaran itu. Bukan tak mau kitab-kitab, tapi
ia bingung, bagaimana harus membawanya sedangkan kitabnya sendiri saja sudah
bertumpuk-tumpuk.
Tapi
kemudian ia menyesal, karena tiga hari setelah Syaikh Yasin wafat, sekolahnya
ditutup pemerintah dan perpustakaannya pun dikuasai.
Syaikh
Yasin adalah salah seorang guru yang sangat ia kagumi. Menurutnya, jika
diberikan kitab-kitab, ia selalu membacanya sampai tuntas dan diberi koreksi
bila ada kesalahan-kesalahan di dalamnya. Hafalannya luar biasa. Lebih dari
itu, menurut feeling-nya, ia seorang wali yang tersembunyi, wali mastur.
Kadang-kadang
dalam penelitian-penelitiannya, Habib Said Agil menemukan hadits-hadits yang ia
tak ketahui siapa yang meriwayatkannya. Jika mendapatkan kesulitan seperti itu,
ia segera mendatangi Syaikh Yasin. Dan baru saja duduk, Syaikh Yasin sudah
tahu. “Agil, ente punya musykilah (kesulitan), ya?”
“Ya,
ada hadits-hadits yang belum ditemukan siapa yang meriwayatkannya.”
Ia
pun membacakan hadits-hadits yang dimaksud.
“Besok
pagi ke sini. Nanti malam ana tanya dulu kepada Rasulullah.”
Habib
Said Agil kaget mendengarnya. Untuk meyakinkan, ia bertanya, “Bertanya kepada
siapa, Syaikh?”
“Kepada
Rasulullah,” katanya menegaskan.
Keesokan
harinya ketika ia datang, Syaikh Yasin sudah dapat menyebutkan siapa yang
meriwayatkannya dan di kitab apa adanya.
Di Indonesia Kamu lebih Dibutuhkan
Setelah
pendidikan S3-nya rampung, Habib Said Agil segera pulang ke tanah air. Tetapi
sebelum kembali, ia mendapatkan tawaran dari duta besar di sana untuk menjadi
seorang diplomat.
Setelah
dipertimbangkan matang-matang dari berbagai seginya, ia tak mengambil
kesempatan itu. Apalagi Munawir Sadzali, menteri agama saat itu, menyarankannya
untuk kembali ke Indonesia saja. “Jangan! Cukup saya yang menjadi diplomat,
karena di Indonesia kamu lebih dibutuhkan.”
Maka
saat tiba di Indonesia, ia melapor ke Menteri Agama, yang kemudian memintanya
tinggal di Jakarta.
Setelah
itu pada bulan Desember 1987 ia mengikuti pendaftaran kepegawaian sebagai dosen
IAIN Jakarta.
Bulan
Maret tahun berikutnya SK kepegawaiannya sudah keluar.
Pada
tahun 1989 ia dipercaya oleh IAIN Jakarta untuk memikirkan dan merintis sebuah
jurusan baru, Jurusan Tafsir Hadits.
Ia
pun menyusun kurikulum dan silabusnya, dan tahun 1990 ia pun diangkat sebagai
ketua jurusan itu.
Jurusan
Tafsir Hadits, yang berada di bawah Fakultas Ushuluddin, terus ia kembangkan
hingga menjadi salah satu jurusan yang paling diminati di IAIN itu. Tak
mengherankan bila rata-rata lulusan IAIN Jakarta yang terbaik berasal dari
jurusan tersebut.
Setelah
lama menjabatnya, pada tahun 1998 ia memutuskan untuk berhenti sebagai ketua
jurusan dan berniat mengajar saja di jurusan itu. Namun, ia justru mendapat
jabatan baru, sebagai direktur Pascasarjana IAIN Jakarta, setelah direktur
sebelumnya, Prof. Dr. Harun Nasution, meninggal dunia di akhir tahun 1998. Ia
diangkat melalui SK Menteri Agama tertanggal 25 Agustus 1999. Jabatan ini masih
tetap dipegangnya sampai saat ia menjabat menteri agama pada Kabinet Gotong
Royong 2001-2004.
Pada
tahun 2000 ia dikukuhkan menjadi guru besar IAIN Jakarta. Pengukuhannya
dilakukan 17 Maret 2001.
Selain
menjadi dosen tetap di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, ia juga mengajar di
berbagai perguruan tinggi, antara lain sebagai dosen Pascasarjana IAIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, IAIN Imam Bonjol Padang, IAIN Sumatera Utara, IAIN Sunan
Ampel Surabaya. Jadi, kesibukan sebagai seorang dosen merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari kehidupannya, baik sebelum maupun sesudah menjabat
menteri.
Saat
menjabat menteri, setiap Jum’at dan Sabtu, ia masih menyempatkan diri mengajar
program pascasarjana di berbagai perguruan tinggi di berbagai kota dengan
dibantu asisten.
Salah
satu kepakaran Habib Said Agil yang sangat diakui orang adalah dalam bidang
tilawah Al-Quran. Di usia yang masih muda, sebelum berangkat menimba ilmu di
Arab Saudi, ia telah dikenal sebagai seorang qari andal tingkat nasional.
Sesungguhnya
bakat itu telah tampak jauh sebelumnya. Di usia empat tahun ia sudah khatam
Al-Quran, dan setahun setelah itu telah menjadi qari cilik yang sering dibawa
ke mana-mana membaca Al-Quran.
Habib
Said Agil mengaku tidak pernah berpikir dan membayangkan menjadi seorang
menteri. Selama ini ia hanya berpikir dan mengabdi sebagai seorang akademisi
yang menekuni ilmu, di samping menjalani berbagai aktivitas lain, di antaranya
sebagai muballigh dan ustadz, yang aktif menyampaikan pesan-pesan keagamaan di
berbagai kesempatan, termasuk di layar kaca.
Habib
Said Agil dikenal sebagai tokoh moderat yang dapat diterima berbagai kalangan.
Sikap dan pendiriannya jelas tergambar dari pemikiran-pemikirannya. Ia
mengatakan, agama merupakan benteng spiritual dan moral. Orang yang beragama
setiap bertindak selalu berangkat dari basis hati nurani. Setiap melangkah dan
melakukan sesuatu senantiasa bertanya kepada hati nurani yang didasari ajaran
agama yang dianutnya.
Ia
juga mengingatkan pentingnya orang mendalami agama. Jika mengenal agama secara
mendalam, ia akan memiliki sikap toleransi, tidak merasa benar sendiri.
Karenanya selama menjabat menteri agama, di antara usaha yang giat dilakukannya
adalah mengembangkan dan menyuburkan kerukunan antarumat beragama. Kemudian
menumbuhkembangkan forum-forum dialog antarumat beragama.
Penulis Produktif
Meski
sibuk dengan berbagai aktivitas, Habib Said Agil masih menunjukkan kelebihannya
yang lain, menghasilkan karya-karya tulis yang berbobot. Bahkan ia tergolong
penulis yang produktif, baik dalam bentuk buku, artikel, maupun makalah
seminar. Di antara buku-buku yang pernah dihasilkannya adalah I`jaz Al-Qur’an
dan Metodologi Tafsir; Ushul Fiqh, Sejarah dan Suatu Pengantar; Ilmu Takhrij Hadits, Sejarah dan Suatu
Pergantar; Perkembangan Hukum Islam Madzhab Syafi`i: Studi Qaul Qadim dan Qaul
Jadid; Dimensi-dimensi Kehidupan dalam Perspektif Islam.
Karya-karya
ilmiah di bangku kuliahnya adalah Naql Ad-Dam wa Atsaruhu fi Asy-Syariah
Al-Islamiyyah (skripsi S1, 1977), Al-Khamru wa Dhararuhu fi Al-Mujtama`
Al-Insani (Skripsi S1 di Universitas Islam Madinah, 1979), An-Nadb wa
Al-Karahah (Tesis S2, Universitas Ummul Qura, Makkah, 1983), dan Tahqiq Kitab
Hawi Al-Kabir li Al-Mawardi (disertasi doktor, Universitas Ummul Qura, Makkah,
1987). Selain menulis buku, artikel, dan makalah seminar, ia pun telah
menerjemahkan lebih dari 25 kitab berbahasa Arab.
Dalam
kesehariannya, ia pun tak pernah meninggalkan tradisi yang dipelihara para
habib dan ulama pada umumnya, yakni membaca wirid dan dzikir. Setiap hari ia
tak lupa membaca al-wirdul-lathif, berbagai hizib, juga amalan-amalan yang
terdapat dalam kitab Syawariq Al-Anwar, karya Sayyid Muhammad Al-Maliki.
Menyongsong Hari Baru
Sesukses
apa pun seseorang, tak selamanya hanya mengalami hal-hal yang menyenangkan.
Begitulah pula dengan dirinya. Ia menyadari, Allah-lah yang mengatur segala
yang terjadi di dunia ini.
Ketika
menghadapi hal-hal yang sulit, ia selalu membaca lâ ilâha illa anta, subhânaka
innî kuntu minazh-zhâlimîn 41 kali setiap selesai shalat. Selain itu, membaca
Ya Lathif 450 kali setelah shalat. Setiap malam ia pun tak lupa bertawasul
kepada Rasulullah, orangtua, kakek, nenek, dan para gurunya. Setelah itu
barulah ia tidur, mengkhiri harinya untuk menyongsong hari yang baru.