Malin Kundang (Another Story)


Karya : Es Ito

Malin Kundang tidak berasal dari Padang. Rantau entah berantah yang tampak asing dari ketinggian Luhak yang tiga. Dia lahir dan besar di pegunungan dan perbukitan dataran tinggi Minangkabau. Pada sebuah kampung yang tidak jauh dari Pariangan. Ibunya yang biasa dipanggilnya Mandeh adalah perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara. Paman yang paling tua dipanggil Makwo, sedangkan yang muda dipanggil Makdang. Di kampungnya nenek Malin bukanlah orang susah, pewaris tunggal dari berpetak-petak tanah yang dimiliki sebagai pusaka tinggi. Karena Mandeh satu-satunya perempuan di keluarga itu, maka jelas nantinya pusaka tinggi itu akan jatuh ke tangannya. Semuanya tampak sebagaimana harusnya hingga Makwo dan Makdang menikah dan tidak lama kemudian sang nenek meninggal.

Makwo dan Makdang adalah jenis lelaki Minang usang yang memandang dunia sejauh angan pendek mereka. Menikah dengan perempuan satu kampung, berharap bisa mendapatkan kehidupan tanpa merantau meninggalkan kampung. Pada awalnya mereka masih bisa menggarap tanah pusaka, membagi hasilnya dengan Mandeh. Tetapi ketika kemudian Mandeh menikah, mereka mulai terancam apalagi suami Mandeh juga menetap di kampung.

Mereka jadi Mamak Rumah yang mesti pergi tanpa membawa apa-apa. Istri-istri mereka yang kelak dipanggil Malin Kundang dengan sebutan Etek, jenis perempuan Minang klasik, menguasai suami dengan cara membuka permusuhan dengan ipar perempuan. Mereka mulai menghasut Makwo dan Makdang untuk menguasai pusaka Mandeh. Mereka menebar isu kalau hasil dari harta pusaka banyak yang dibawa pergi ke rumah gadang suami Mandeh.

Makwo dan Makdang mulai terhasut, tetapi langkah mereka masih tertahan, was-was jika Mandeh nantinya melahirkan anak perempuan yang akan melanjutkan pusaka tinggi itu. Dan kemudian ternyata yang lahir adalah anak laki-laki yang diberi nama Malin Kundang.


Tidak berselang lama dari kelahiran Malin, ayahnya meninggal dunia mendadak. Bisik-bisik orang kampung mengatakan dia mati  karena racun tuba. Dalam bisikan yang lebih hening berembus kabar, Etek Malin menyuruh orang pintar meramu racun dan memasukkannya  dalam bingkisan makanan yang mereka berikan. Mereka tidak ingin setelah Malin Kundang lahir, laki-laki itu membuahi Mandeh lagi sehingga akan lahir anak perempuan. Tinggallah Mandeh dengan seorang bayi laki-laki yang kelak juga harus pergi.

Tanpa anak perempuan, pusaka tinggi berakhir pada Mandeh. Makwo dan Makdang dengan dorongan dari istri-istri mereka mulai menggerogoti pusaka itu, dan Mandeh tidak ada yang membela. Lama kelamaan pusaka yang selama ini dipegang Mandeh hilang udah,  bahkan kedua saudara laki-lakinya sampai tega mengusirnya dari rumah gadang.

Mandeh menemukan gubuk tak berpenghuni di pinggir hutan. Selama tahun-tahun berat membesarkan Malin Kundang, dia tinggal disana. Mandeh bukan tidak mau menikah lagi, tetapi hampir tidak mungkin baginya untuk mendapatkan seorang suami. Ketentuan adat mengharuskan perempuan yang meminang. Bila dia tidak punya paman atau Mamak, tanggung jawab meminang itu ada di pundak saudara laki-lakinya. Dan saudara laki-lakinya, jangankan mencarikan suami, mereka malah mengusirnya dari rumah gadang. Karena tidak lagi punya tanah yang menghasilkan, dia hidup dari mencari ranting kayu di hutan.

Masyarakat di kampungnya hanya bisa membantu dengan menukar ranting kayu bakar dengan beras dan lauk pauk. Ketika Malin sudah cukup besar, anak itu mulai  membantunya dengan tekun. Hingga kemudian dia berusia awal belasan tahun, Malin mulai mengerti apa yang menimpa dirinya dan Mandeh. Malin mulai berani mendatangi Makwo dan Makdang menuntut haknya. Karena jengkel tidak pernah ditemui, dilemparinya rumah mereka dengan batu dan kayu. Etek-Eteknya menebarkan gunjing, betapa Malin Kundang ini anak nakal yang kurang ajar dan mestinya tidak tinggal di kampung mereka.

Pada suatu hari, kampung itu kedatangan seorang perantau yang jarang pulang, namanya Sidi Paulah. Konon kabar Sidi bekerja di kapal dan pulang membawa kekayaannya. Membangunkan rumah gadang baru untuk saudara-saudara perempuannya dan kemudian berencana pergi lagi. Makwo dan Makdang yang semakin khawatir dengan gangguan Malin Kundang melihat peluang untuk membuang kemenakan mereka itu. Diam-diam mereka mendatangi Sidi Paulah, dengan memberi kesan sebagai paman yang bertanggung jawab, mereka ingin Sidi membawa pergi Malin biar nanti bisa pulang membebaskan Mandeh dari kemiskinan. Sementara istri-istri mereka sibuk menghasut orang kampung agar mengusir Malin Kundang dari kampung mereka. Demi melihat kesungguhan dua orang itu dan ditambah lagi dengan tuntutan dari orang kampung yang sudah termakan hasutan, Sidi menyanggupi untuk membawa Malin Kundang keluar dari kampung itu.

Malin Kundang kaget ketika Sidi Paulah mengajaknya pergi, sementara dia berharap tumbuh besar di kampung dan membereskan  urusan dengan kedua pamannya. Tetapi karena orang kampung juga sudah termakan hasutan, dia juga tidak punya tempat di kampung  ini.
Malin Kundang menerima tawaran Sidi Paulah, kesedihan Mandeh tidak sanggup menahan anaknya pergi. Dia tinggal sebatang kara,  tetapi Malin Kundang bersumpah pada Mandeh bahwa kelak dia akan datang dan akan mengambil kembali semua yang menjadi hak  mereka. Makwo dan Makdang serta istri-istri mereka menarik nafas lega, Mandeh seorang diri tidak akan sanggup mengganggu mereka.

Sidi mengajak Malin menuruni lembah mengikuti aliran Batang Anai hingga mereka tiba di daerah landai berbatas laut disebut Padang. Mereka tinggal menumpang di gubuk kecil milik seorang nelayan di pinggir laut. Berhari-hari mereka tinggal disitu, namun kapal yang kata Sidi akan menjemput mereka tidak juga kunjung datang. Hingga pada suatu pagi Malin terjaga, dia mendapati Sidi tidak ada lagi.  laki-laki itu telah pergi meninggalkannya begitu saja. Di rantau tanpa handai taulan, Malin Kundang mesti bertahan hidup sendiri. Dia  tidak ingin kembali pulang sebagai seorang pecundang. Dia belajar melaut dengan para nelayan. Dia melihat kapal-kapal besar datang dan pergi. Dia mulai akrab dengan laut, angin dan bintang-bintang yang jadi pemandu di malam hari. Setiap kali kapal besar datang,  timbul keinginannya untuk pergi berlayar jauh menjelajahi samudera tak bertepi. Setiap kapal besar berlabuh didatanginya, tanpa diminta dia bantu mengangkat bawaan kapal, berharap mendapat simpati dan ikut dibawa pergi. Tetapi hari berganti bulan tidak satu  kapal pun menerimanya.

Hingga suatu hari sebuah kapal besar milik orang Bugis berlabuh. Pemilik kapal bernama Daeng Laut dan usaha pelayarannya tengah  menanjak. Segera saja dia tertarik kepada anak muda belasan tahun yang begitu rajinnya di pelabuhan. Keberuntungan menaungi  Malin Kundang, dia diajak pergi berlayar. Ketekunannya ditambah dengan kemauan yang keras membuat dia tidak saja bisa bertahan di atas kapal Bugis itu tetapi menjadi salah satu awak kapal yang paling terampil.

Berhitung bulan di laut, segera saja posisinya naik dari sekadar pesuruh menjadi kelasi. Hingga berhitung tahun kemudian karena keterampilannya membaca alam, Daeng Laut mempercayakan nakhoda kapal kepadanya. Anak muda ini telah membawa keberuntungan kepadanya. Nyaris tidak ada pelabuhan yang mereka singgahi yang tidak memberikan keuntungan berlipat ganda.

Tetapi tidak selamanya bintang keberuntungan menaungi pelayaran, kadang langit gelap menghancurkannya dalam sekejap. Malam itu badai menggila tidak jauh dari selat Malaka. Malin Kundang berusaha keras menahan kapal agar tetap melaju menuju pelabuhan Malaka yang dituju. Tetapi alam terlalu kuat, hingga menyeret kapal jauh ke utara. Tanpa disadari kapal mendekati kawasan laut yang  paling ditakuti oleh para pelaut manapun, kawasan Jemaja dimana bajak laut bersarang. Begitu pagi datang, badai menghilang dan  kapal terombang-ambing di laut tak bertuan. Perlu menunggu malam untuk menentukan arah tujuan.

Malin Kundang jatuh tertidur, dia terlalu lelah sepanjang malam bertarung dengan alam. Jelang siang, suara ribut di geladak kapal membangunkannya. Terdengar dentingan besi saling beradu diikuti rintihan dan teriakan. Dia segera berlari naik ke atas geladak,  didapatinya bajak laut menyerbu kapal. Belasan awak kapal tewas termasuk Daeng Laut. Malin Kundang mengambil benda apa saja untuk melawan bajak laut yang mulai menyerbunya. Dia terdesak, tetapi sebelum parang bajak laut mengakhiri hidupnya, Malin  Kundang sempat melihat pemimpin gerombolan lanun ini.

Dia tidak percaya dengan penglihatannya, teriakannya menghentikan semua kegaduhan itu. Sidi Paulah, teriaknya. Dan laki-laki itu  segera menengok kaget. Walaupun bertahun tidak saling bertemu, mereka masih saling mengenali. Sidi Paulah ternyata pemimpin lanun di Jemaja. Inilah pekerjaan haram yang membuatnya kaya raya. Pekerjaan yang dulu membuatnya ragu mengajak Malin hingga  meninggalkan anak muda itu begitu saja di pantai Padang. Dia pernah bersumpah, akan berhenti dari pekerjaan lanun bila di tengah  lautan menemukan orang dari kampung halamannya. Dan sekarang dia bertemu dengan Malin Kundang diatas kapal yang tengah  dirompaknya. Sidi Paulah memenuhi janjinya, urung merompak dan hendak berlalu pergi. Tetapi Malin Kundang menahannya. Karena awak kapal banyak yang tewas dia meminta para perompak itu tinggal dan menjadi awak kapalnya. Sidi Paulah menerima tawaran itu.

Segera saja Malin Kundang menjadi penguasa kapal menggantikan Daeng Laut. Dengan separuh awak kapalnya bekas perompak, kapal  Malin Kundang semakin berani berlayar ke tempat-tempat yang tidak terjamah kapal lain. Kekayaan dan kemasyhurannya terdengar  kemana-mana. Ketika kapalnya berlabuh di Malaka, raja Malaka malah mengirim pesuruh untuk menjemput Malin Kundang yang akan  menjadi tamu istimewanya. Sebagaimana banyak cerita tempo dulu, karena kepentingan ekonomi, raja menikahkan putrinya dengan Malin Kundang serta menghadiahkan tanah yang sangat luas jauh di utara Malaka untuknya. Tetapi Malin Kundang masih gundah teringat janjinya pada Mandeh. Dia mengutarakan niatnya hendak kembali kepada Sidi Paulah, dia ingin menjemput Mandeh,  membawanya pergi nanti jauh di utara Malaka. Dimana Mandeh tidak perlu lagi pusing memikirkan tanah-tanah mereka yang telah dirampas oleh pamannya. Akhirnya keputusan diambil, sebelum mendiami tanah di utara Malaka, Malin Kundang harus menjemput ibunya.

Kabar kemasyhuran Malin Kundang sampai di kampung halamannya. Mandeh yang sudah renta yakin anaknya itu akan datang memenuhi janji. Sementara Makwo dan Makdang yang tidak kalah renta mulai ketakutan, bila Malin Kundang dan pengikutnya datang tentu dia akan balas dendam. Dalam usia tua itu mereka masih sempat berpikir jahat, berpikir bagaimana caranya membuang Mandeh jauh sehingga Malin akan mencarinya di tempat lain dan tidak sempat mendatangi kampung. Lewat anak-anak mereka yang tidak kalah jahatnya, mereka bermufakat membawa Mandeh ke Padang berharap itu bisa menahan langkah Malin ke pedalaman jika dia datang nantinya. Dengan penuh muslihat mereka menebar kabar kalau Malin Kundang telah tiba di pantai Padang dan tengah menunggu kedatangan ibunya disana. Mandeh terpengaruh oleh kabar itu, dengan segala cara dia berhasil tiba di Padang. 

Berhitung hari, pekan dan bulan dia menunggu, tiada yang datang. Dia terlunta, hidup dari santunan hingga akhirnya tidak seorang pun yang percaya bahwa dia ibunya Malin Kundang.

Penantian Mandeh akhirnya mendapatkan jawaban ketika sebuah kapal besar berlabuh. Malin Kundang turun dari kapal, menghirup  udara daratan yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya. Ratusan orang menyambutnya, karena ingin sekali melihat sosok pelaut dan pedagang yang masyhur itu. Kuda-kuda diturunkan dari atas kapal, Malin Kundang ingin segera pergi meninggalkan pantai  menjemput ibunya nun di pegunungan sana. Tetapi sebelum dia melangkah pergi, seorang perempuan tua menyeruak dari kerumunan orang.

“Ini Mandeh, Nak” teriak perempuan itu. Tetapi kerumunan orang ramai segera menyorakinya, meneriaki Mandeh penipu, pengemis yang ingin mencari keuntungan sendiri. Malin Kundang turun dari kudanya. Tanpa mengindahkan teriakan orang-orang dia mendekati perempuan tua itu. Tidak salah lagi, itulah Mandeh, ibunya. Malin Kundang berteriak gembira, orang-orang yang iri tetap tidak bisa menerima kenyataan bahwa perempuan renta yang jorok itu ibu dari seorang pelaut yang masyhur. Mereka meneriaki Malin Kundang sebagai orang bodoh yang mudah ditipu.

Tiba-tiba Sidi Paulah dengan tergopoh-gopoh mendekati Malin Kundang. Laut surut, pertanda buruk ucapnya. Mereka telah  mengarungi setiap celah lautan dan tahu persis apa yang terjadi bila laut tiba-tiba surut. Sidi Paulah bertanya pada orang- orang,  adakah bumi berguncang beberapa saat yang lalu. Kerumunan orang-orang mengiyakan, itu sebabnya semua orang keluar rumah dan berlarian ke pantai bersamaan dengan kedatangan kapal mereka. “Carilah tempat tinggi, tidak lama lagi laut akan menelan daratan ”,  perintah Malin Kundang pada orang-orang itu.

Hanya sedikit yang mau mendengarkan, itu pun pergi penuh cibiran sebagaimana sifat khas orang Minang yang susah menerima  kebenaran dari orang lain. Sebagian besar lainnya terus berada di pantai menyoraki Malin Kundang yang tampak bodoh di mata  mereka. Sementara Malin Kundang meyakinkan Mandeh untuk segera naik ke atas kapal. Tetapi ibunya menolak karena ingin anaknya  terlebih dahulu pulang menyelesaikan urusan dengan paman-pamannya. Malin Kundang terus berusaha meyakinkan tetapi ibunya  tetap menolak dan berteriak-teriak sambil menangis. Sidi Paulah mulai gelisah, bila sedikit saja terlambat bergerak, kapal mereka yang  sudah semakin ke tengah akan ikut dihempas ke daratan. Malin Kundang tidak punya waktu lagi berdebat, segera dia pangku Mandeh  yang terus meronta membawanya lari ke atas kapal. Dari kejauhan orang mendengar Mandeh menyebut Malin Kundang anak durhaka  karena tidak memenuhi pinta ibunya yang ingin anaknya pulang kampung dan membalaskan dendamnya kepada saudara laki-lakinya.

Gelombang besar itu akhirnya datang sebagai penuntas dari gempa yang terjadi beberapa saat sebelumnya. Dari atas ketinggian  orang-orang yang selamat masih sempat melihat kapal Malin Kundang terayun tinggi di atas gelombang. Di geladaknya mereka  melihat, Malin Kundang sujud di kaki ibunya. Setelah itu kapal itu hilang ditelan lautan. Orang- orang yang tidak mengikuti kata-kata  Malin Kundang hilang ditelan gelombang, Padang hilang pada hari itu oleh bah yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Lalu ketika laut surut, mereka yang selamat melihat gundukan batu mirip manusia mirip penampakan terakhir Malin Kundang di atas kapal. Segera  mereka namakan batu Malin Kundang. Ketika kabar ini tiba di dataran tinggi, Makwo dan Makdang menggubahnya menjadi cerita Malin  Kundang anak durhaka dengan menghilangkan nama mereka dari keseluruhan cerita.

Dan kisah gelombang besar setelah gempa pun tidak dimasukkan dalam cerita Malin Kundang ala mereka itu. Cerita penuntasnya, jelas tidak akan disukai oleh orang-orang Minang picik yang senantiasa senang melihat tragedi hidup orang lain. Kapal Malin Kundang selamat dari gelombang, berlayar kembali hingga ke Malaka. Dari sana Malin Kundang, istrinya, Sidi Paulah dan Mandeh bergerak ke utara. Membuka hutan menjadikannya perkampungan yang diberi nama Negeri Sembilan sebab ada sembilan orang Minang yang selamat hingga disana. Dari situlah asal muasal negeri Minangkabau di semenanjung Malaysia. Hingga saat ini, Negeri Sembilan masih melanjutkan tradisi Minangkabau. Dan hingga sekarang, atas nama kedengkian karena keberhasilan Malin  Kundang, orang-orang melupakan cerita gempa dan gelombang besar yang pernah menelan pantai barat Sumatera.

Template by:

Free Blog Templates