Malin
Kundang tidak berasal dari Padang. Rantau entah berantah yang tampak asing dari
ketinggian Luhak yang tiga. Dia lahir dan besar di pegunungan dan perbukitan
dataran tinggi Minangkabau. Pada sebuah kampung yang tidak jauh dari Pariangan.
Ibunya yang biasa dipanggilnya Mandeh adalah perempuan satu-satunya dari tiga
bersaudara. Paman yang paling tua dipanggil Makwo, sedangkan yang muda
dipanggil Makdang. Di kampungnya nenek Malin bukanlah orang susah, pewaris
tunggal dari berpetak-petak tanah yang dimiliki sebagai pusaka tinggi. Karena
Mandeh satu-satunya perempuan di keluarga itu, maka jelas nantinya pusaka
tinggi itu akan jatuh ke tangannya. Semuanya tampak sebagaimana harusnya hingga
Makwo dan Makdang menikah dan tidak lama kemudian sang nenek meninggal.
Makwo
dan Makdang adalah jenis lelaki Minang usang yang memandang dunia sejauh angan
pendek mereka. Menikah dengan perempuan satu kampung, berharap bisa mendapatkan
kehidupan tanpa merantau meninggalkan kampung. Pada awalnya mereka masih bisa
menggarap tanah pusaka, membagi hasilnya dengan Mandeh. Tetapi ketika kemudian
Mandeh menikah, mereka mulai terancam apalagi suami Mandeh juga menetap di
kampung.
Mereka
jadi Mamak Rumah yang mesti pergi tanpa membawa apa-apa. Istri-istri mereka
yang kelak dipanggil Malin Kundang dengan sebutan Etek, jenis perempuan Minang
klasik, menguasai suami dengan cara membuka permusuhan dengan ipar perempuan.
Mereka mulai menghasut Makwo dan Makdang untuk menguasai pusaka Mandeh. Mereka
menebar isu kalau hasil dari harta pusaka banyak yang dibawa pergi ke rumah
gadang suami Mandeh.
Makwo
dan Makdang mulai terhasut, tetapi langkah mereka masih tertahan, was-was jika
Mandeh nantinya melahirkan anak perempuan yang akan melanjutkan pusaka tinggi
itu. Dan kemudian ternyata yang lahir adalah anak laki-laki yang diberi nama
Malin Kundang.
Tidak
berselang lama dari kelahiran Malin, ayahnya meninggal dunia mendadak.
Bisik-bisik orang kampung mengatakan dia mati
karena racun tuba. Dalam bisikan yang lebih hening berembus kabar, Etek Malin
menyuruh orang pintar meramu racun dan memasukkannya dalam bingkisan makanan yang mereka berikan.
Mereka tidak ingin setelah Malin Kundang lahir, laki-laki itu membuahi Mandeh
lagi sehingga akan lahir anak perempuan. Tinggallah Mandeh dengan seorang bayi
laki-laki yang kelak juga harus pergi.
Tanpa
anak perempuan, pusaka tinggi berakhir pada Mandeh. Makwo dan Makdang dengan
dorongan dari istri-istri mereka mulai menggerogoti pusaka itu, dan Mandeh
tidak ada yang membela. Lama kelamaan pusaka yang selama ini dipegang Mandeh
hilang udah, bahkan kedua saudara
laki-lakinya sampai tega mengusirnya dari rumah gadang.
Mandeh
menemukan gubuk tak berpenghuni di pinggir hutan. Selama tahun-tahun berat
membesarkan Malin Kundang, dia tinggal disana. Mandeh bukan tidak mau menikah
lagi, tetapi hampir tidak mungkin baginya untuk mendapatkan seorang suami.
Ketentuan adat mengharuskan perempuan yang meminang. Bila dia tidak punya paman
atau Mamak, tanggung jawab meminang itu ada di pundak saudara laki-lakinya. Dan
saudara laki-lakinya, jangankan mencarikan suami, mereka malah mengusirnya dari
rumah gadang. Karena tidak lagi punya tanah yang menghasilkan, dia hidup dari
mencari ranting kayu di hutan.
Masyarakat
di kampungnya hanya bisa membantu dengan menukar ranting kayu bakar dengan
beras dan lauk pauk. Ketika Malin sudah cukup besar, anak itu mulai membantunya dengan tekun. Hingga kemudian dia
berusia awal belasan tahun, Malin mulai mengerti apa yang menimpa dirinya dan
Mandeh. Malin mulai berani mendatangi Makwo dan Makdang menuntut haknya. Karena
jengkel tidak pernah ditemui, dilemparinya rumah mereka dengan batu dan kayu.
Etek-Eteknya menebarkan gunjing, betapa Malin Kundang ini anak nakal yang
kurang ajar dan mestinya tidak tinggal di kampung mereka.
Pada
suatu hari, kampung itu kedatangan seorang perantau yang jarang pulang, namanya
Sidi Paulah. Konon kabar Sidi bekerja di kapal dan pulang membawa kekayaannya.
Membangunkan rumah gadang baru untuk saudara-saudara perempuannya dan kemudian
berencana pergi lagi. Makwo dan Makdang yang semakin khawatir dengan gangguan
Malin Kundang melihat peluang untuk membuang kemenakan mereka itu. Diam-diam
mereka mendatangi Sidi Paulah, dengan memberi kesan sebagai paman yang
bertanggung jawab, mereka ingin Sidi membawa pergi Malin biar nanti bisa pulang
membebaskan Mandeh dari kemiskinan. Sementara istri-istri mereka sibuk
menghasut orang kampung agar mengusir Malin Kundang dari kampung mereka. Demi
melihat kesungguhan dua orang itu dan ditambah lagi dengan tuntutan dari orang kampung
yang sudah termakan hasutan, Sidi menyanggupi untuk membawa Malin Kundang
keluar dari kampung itu.
Malin
Kundang kaget ketika Sidi Paulah mengajaknya pergi, sementara dia berharap
tumbuh besar di kampung dan membereskan
urusan dengan kedua pamannya. Tetapi karena orang kampung juga sudah
termakan hasutan, dia juga tidak punya tempat di kampung ini.
Malin
Kundang menerima tawaran Sidi Paulah, kesedihan Mandeh tidak sanggup menahan
anaknya pergi. Dia tinggal sebatang kara,
tetapi Malin Kundang bersumpah pada Mandeh bahwa kelak dia akan datang
dan akan mengambil kembali semua yang menjadi hak mereka. Makwo dan Makdang serta istri-istri
mereka menarik nafas lega, Mandeh seorang diri tidak akan sanggup mengganggu
mereka.
Sidi
mengajak Malin menuruni lembah mengikuti aliran Batang Anai hingga mereka tiba
di daerah landai berbatas laut disebut Padang. Mereka tinggal menumpang di
gubuk kecil milik seorang nelayan di pinggir laut. Berhari-hari mereka tinggal
disitu, namun kapal yang kata Sidi akan menjemput mereka tidak juga kunjung
datang. Hingga pada suatu pagi Malin terjaga, dia mendapati Sidi tidak ada
lagi. laki-laki itu telah pergi
meninggalkannya begitu saja. Di rantau tanpa handai taulan, Malin Kundang mesti
bertahan hidup sendiri. Dia tidak ingin
kembali pulang sebagai seorang pecundang. Dia belajar melaut dengan para
nelayan. Dia melihat kapal-kapal besar datang dan pergi. Dia mulai akrab dengan
laut, angin dan bintang-bintang yang jadi pemandu di malam hari. Setiap kali
kapal besar datang, timbul keinginannya
untuk pergi berlayar jauh menjelajahi samudera tak bertepi. Setiap kapal besar
berlabuh didatanginya, tanpa diminta dia bantu mengangkat bawaan kapal,
berharap mendapat simpati dan ikut dibawa pergi. Tetapi hari berganti bulan
tidak satu kapal pun menerimanya.
Hingga
suatu hari sebuah kapal besar milik orang Bugis berlabuh. Pemilik kapal bernama
Daeng Laut dan usaha pelayarannya tengah
menanjak. Segera saja dia tertarik kepada anak muda belasan tahun yang
begitu rajinnya di pelabuhan. Keberuntungan menaungi Malin Kundang, dia diajak pergi berlayar.
Ketekunannya ditambah dengan kemauan yang keras membuat dia tidak saja bisa
bertahan di atas kapal Bugis itu tetapi menjadi salah satu awak kapal yang paling
terampil.
Berhitung
bulan di laut, segera saja posisinya naik dari sekadar pesuruh menjadi kelasi.
Hingga berhitung tahun kemudian karena keterampilannya membaca alam, Daeng Laut
mempercayakan nakhoda kapal kepadanya. Anak muda ini telah membawa
keberuntungan kepadanya. Nyaris tidak ada pelabuhan yang mereka singgahi yang
tidak memberikan keuntungan berlipat ganda.
Tetapi
tidak selamanya bintang keberuntungan menaungi pelayaran, kadang langit gelap
menghancurkannya dalam sekejap. Malam itu badai menggila tidak jauh dari selat
Malaka. Malin Kundang berusaha keras menahan kapal agar tetap melaju menuju
pelabuhan Malaka yang dituju. Tetapi alam terlalu kuat, hingga menyeret kapal
jauh ke utara. Tanpa disadari kapal mendekati kawasan laut yang paling ditakuti oleh para pelaut manapun,
kawasan Jemaja dimana bajak laut bersarang. Begitu pagi datang, badai
menghilang dan kapal terombang-ambing di
laut tak bertuan. Perlu menunggu malam untuk menentukan arah tujuan.
Malin
Kundang jatuh tertidur, dia terlalu lelah sepanjang malam bertarung dengan
alam. Jelang siang, suara ribut di geladak kapal membangunkannya. Terdengar
dentingan besi saling beradu diikuti rintihan dan teriakan. Dia segera berlari
naik ke atas geladak, didapatinya bajak
laut menyerbu kapal. Belasan awak kapal tewas termasuk Daeng Laut. Malin
Kundang mengambil benda apa saja untuk melawan bajak laut yang mulai
menyerbunya. Dia terdesak, tetapi sebelum parang bajak laut mengakhiri
hidupnya, Malin Kundang sempat melihat
pemimpin gerombolan lanun ini.
Dia
tidak percaya dengan penglihatannya, teriakannya menghentikan semua kegaduhan
itu. Sidi Paulah, teriaknya. Dan laki-laki itu
segera menengok kaget. Walaupun bertahun tidak saling bertemu, mereka
masih saling mengenali. Sidi Paulah ternyata pemimpin lanun di Jemaja. Inilah
pekerjaan haram yang membuatnya kaya raya. Pekerjaan yang dulu membuatnya ragu
mengajak Malin hingga meninggalkan anak
muda itu begitu saja di pantai Padang. Dia pernah bersumpah, akan berhenti dari
pekerjaan lanun bila di tengah lautan
menemukan orang dari kampung halamannya. Dan sekarang dia bertemu dengan Malin
Kundang diatas kapal yang tengah
dirompaknya. Sidi Paulah memenuhi janjinya, urung merompak dan hendak
berlalu pergi. Tetapi Malin Kundang menahannya. Karena awak kapal banyak yang
tewas dia meminta para perompak itu tinggal dan menjadi awak kapalnya. Sidi
Paulah menerima tawaran itu.
Segera
saja Malin Kundang menjadi penguasa kapal menggantikan Daeng Laut. Dengan
separuh awak kapalnya bekas perompak, kapal
Malin Kundang semakin berani berlayar ke tempat-tempat yang tidak
terjamah kapal lain. Kekayaan dan kemasyhurannya terdengar kemana-mana. Ketika kapalnya berlabuh di
Malaka, raja Malaka malah mengirim pesuruh untuk menjemput Malin Kundang yang
akan menjadi tamu istimewanya.
Sebagaimana banyak cerita tempo dulu, karena kepentingan ekonomi, raja
menikahkan putrinya dengan Malin Kundang serta menghadiahkan tanah yang sangat
luas jauh di utara Malaka untuknya. Tetapi Malin Kundang masih gundah teringat
janjinya pada Mandeh. Dia mengutarakan niatnya hendak kembali kepada Sidi
Paulah, dia ingin menjemput Mandeh,
membawanya pergi nanti jauh di utara Malaka. Dimana Mandeh tidak perlu
lagi pusing memikirkan tanah-tanah mereka yang telah dirampas oleh pamannya.
Akhirnya keputusan diambil, sebelum mendiami tanah di utara Malaka, Malin
Kundang harus menjemput ibunya.
Kabar
kemasyhuran Malin Kundang sampai di kampung halamannya. Mandeh yang sudah renta
yakin anaknya itu akan datang memenuhi janji. Sementara Makwo dan Makdang yang
tidak kalah renta mulai ketakutan, bila Malin Kundang dan pengikutnya datang
tentu dia akan balas dendam. Dalam usia tua itu mereka masih sempat berpikir
jahat, berpikir bagaimana caranya membuang Mandeh jauh sehingga Malin akan
mencarinya di tempat lain dan tidak sempat mendatangi kampung. Lewat anak-anak
mereka yang tidak kalah jahatnya, mereka bermufakat membawa Mandeh ke Padang
berharap itu bisa menahan langkah Malin ke pedalaman jika dia datang nantinya.
Dengan penuh muslihat mereka menebar kabar kalau Malin Kundang telah tiba di
pantai Padang dan tengah menunggu kedatangan ibunya disana. Mandeh terpengaruh
oleh kabar itu, dengan segala cara dia berhasil tiba di Padang.
Berhitung hari, pekan dan bulan dia menunggu, tiada yang datang. Dia terlunta, hidup dari santunan hingga akhirnya tidak seorang pun yang percaya bahwa dia ibunya Malin Kundang.
Berhitung hari, pekan dan bulan dia menunggu, tiada yang datang. Dia terlunta, hidup dari santunan hingga akhirnya tidak seorang pun yang percaya bahwa dia ibunya Malin Kundang.
Penantian
Mandeh akhirnya mendapatkan jawaban ketika sebuah kapal besar berlabuh. Malin
Kundang turun dari kapal, menghirup
udara daratan yang telah bertahun-tahun ditinggalkannya. Ratusan orang
menyambutnya, karena ingin sekali melihat sosok pelaut dan pedagang yang masyhur
itu. Kuda-kuda diturunkan dari atas kapal, Malin Kundang ingin segera pergi
meninggalkan pantai menjemput ibunya nun
di pegunungan sana. Tetapi sebelum dia melangkah pergi, seorang perempuan tua
menyeruak dari kerumunan orang.
“Ini
Mandeh, Nak” teriak perempuan itu. Tetapi kerumunan orang ramai segera
menyorakinya, meneriaki Mandeh penipu, pengemis yang ingin mencari keuntungan
sendiri. Malin Kundang turun dari kudanya. Tanpa mengindahkan teriakan
orang-orang dia mendekati perempuan tua itu. Tidak salah lagi, itulah Mandeh,
ibunya. Malin Kundang berteriak gembira, orang-orang yang iri tetap tidak bisa
menerima kenyataan bahwa perempuan renta yang jorok itu ibu dari seorang pelaut
yang masyhur. Mereka meneriaki Malin Kundang sebagai orang bodoh yang mudah
ditipu.
Tiba-tiba
Sidi Paulah dengan tergopoh-gopoh mendekati Malin Kundang. Laut surut, pertanda
buruk ucapnya. Mereka telah mengarungi
setiap celah lautan dan tahu persis apa yang terjadi bila laut tiba-tiba surut.
Sidi Paulah bertanya pada orang- orang,
adakah bumi berguncang beberapa saat yang lalu. Kerumunan orang-orang
mengiyakan, itu sebabnya semua orang keluar rumah dan berlarian ke pantai
bersamaan dengan kedatangan kapal mereka. “Carilah tempat tinggi, tidak lama
lagi laut akan menelan daratan ”,
perintah Malin Kundang pada orang-orang itu.
Hanya
sedikit yang mau mendengarkan, itu pun pergi penuh cibiran sebagaimana sifat
khas orang Minang yang susah menerima
kebenaran dari orang lain. Sebagian besar lainnya terus berada di pantai
menyoraki Malin Kundang yang tampak bodoh di mata mereka. Sementara Malin Kundang meyakinkan
Mandeh untuk segera naik ke atas kapal. Tetapi ibunya menolak karena ingin
anaknya terlebih dahulu pulang
menyelesaikan urusan dengan paman-pamannya. Malin Kundang terus berusaha
meyakinkan tetapi ibunya tetap menolak
dan berteriak-teriak sambil menangis. Sidi Paulah mulai gelisah, bila sedikit
saja terlambat bergerak, kapal mereka yang
sudah semakin ke tengah akan ikut dihempas ke daratan. Malin Kundang
tidak punya waktu lagi berdebat, segera dia pangku Mandeh yang terus meronta membawanya lari ke atas
kapal. Dari kejauhan orang mendengar Mandeh menyebut Malin Kundang anak
durhaka karena tidak memenuhi pinta
ibunya yang ingin anaknya pulang kampung dan membalaskan dendamnya kepada
saudara laki-lakinya.
Gelombang
besar itu akhirnya datang sebagai penuntas dari gempa yang terjadi beberapa
saat sebelumnya. Dari atas ketinggian
orang-orang yang selamat masih sempat melihat kapal Malin Kundang
terayun tinggi di atas gelombang. Di geladaknya mereka melihat, Malin Kundang sujud di kaki ibunya.
Setelah itu kapal itu hilang ditelan lautan. Orang- orang yang tidak mengikuti
kata-kata Malin Kundang hilang ditelan
gelombang, Padang hilang pada hari itu oleh bah yang tidak pernah terjadi
sebelumnya. Lalu ketika laut surut, mereka yang selamat melihat gundukan batu
mirip manusia mirip penampakan terakhir Malin Kundang di atas kapal.
Segera mereka namakan batu Malin
Kundang. Ketika kabar ini tiba di dataran tinggi, Makwo dan Makdang
menggubahnya menjadi cerita Malin
Kundang anak durhaka dengan menghilangkan nama mereka dari keseluruhan
cerita.
Dan
kisah gelombang besar setelah gempa pun tidak dimasukkan dalam cerita Malin
Kundang ala mereka itu. Cerita penuntasnya, jelas tidak akan disukai oleh
orang-orang Minang picik yang senantiasa senang melihat tragedi hidup orang
lain. Kapal Malin Kundang selamat dari gelombang, berlayar kembali hingga ke
Malaka. Dari sana Malin Kundang, istrinya, Sidi Paulah dan Mandeh bergerak ke
utara. Membuka hutan menjadikannya perkampungan yang diberi nama Negeri
Sembilan sebab ada sembilan orang Minang yang selamat hingga disana. Dari
situlah asal muasal negeri Minangkabau di semenanjung Malaysia. Hingga saat
ini, Negeri Sembilan masih melanjutkan tradisi Minangkabau. Dan hingga
sekarang, atas nama kedengkian karena keberhasilan Malin Kundang, orang-orang melupakan cerita gempa
dan gelombang besar yang pernah menelan pantai barat Sumatera.