(DISKUSI REGULER BULAN MARET 2011 LAKPESDAM NU SUDAN)
[8] Rusydi Hamka, Islam dan Era Informasi, Jakarta: Pustaka Panjimas, hal. 264.
Pembaca,
sejak masuknya islam di tanah air tercinta pada permulaan abad ke 6
masehi hingga sekarang perkembangannya terus meningkat, dari mulai
kesultanan aceh hingga dakwah walisongo di tanah jawa. Seiring laju
zaman, para ulama mempunyai andil besar dalam menyebarluaskan dan
menyempurnakan dakwah islam itu di bumi Indonesia. Salah satu dari ulama
itu adalah seorang ulama asal Sumatra Barat yang akan kita tampilkan
disini, beliau adalah Haji Abdul Malik Karim Amrulloh atau yang dikenal
dekat dengan akronim HAMKA. Kalau kita mau singkat ke dalam sebuah
kalimat singkat adalah " Seorang Ahli Tafsir, Sastrawan, Sufi, Jurnalis
dan Aktivis Politik". Dilahirkan di Maninjau, Sumatera Barat pada 17 Februari 1908 dan meninggal di Jakarta Pada 24 Juli 1981.
II. RIWAYAT PENDIDIKAN
Hamka
dilahirkan dan dibesarkan dalam keluarga ulama. Ayahnya Abdul Karim bin
Amrulloh atau yang dikenal dengan Haji Rosul adalah seorang ulama saat
itu. Kakeknya Tuan Kisa'i adalah salah satu pengikut Thariqat
Naqsyabandiyah yang kuat. Kepada mereka berdualah HAMKA belajar untuk
pertama kalinya. HAMKA
mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau. Ketika usia HAMKA
mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Madrasah Sumatera Thawalib
di Padang Panjang. Di situ HAMKA mempelajari agama dan mendalami bahasa
Arab. HAMKA juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid
yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad
Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjoparonto dan Ki Bagus Hadikusumodari.
Sejak muda, HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya,
memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 tahun ia merantau ke Jawa
untuk menimba ilmu tentang gerakan Islam modern kepada HOS
Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, RM Soerjopranoto, dan KH Fakhrudin[1]. HAMKA juga pernah belajar di tanah suci saat beliau melaksanakan Ibadah Haji. Selain itu, Hamka
juga seorang otodidiak yang tekun dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan seperti Tafsir, filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan
politik.
Keluarga, Perantauan dan Semangat membaca. Inilah tiga hal yang penulis
fikir menjadi faktor utama dalam pembentukan keilmuan HAMKA yang
mendalam.
III. AKTIVITAS HAMKA.
Aktivitas
beliau padat sekali, mulai dari menjadi guru hingga ketua MUI tahun
1977. Berikut penulis ringkas berdasarkan urutan tahunnya[2] :
- 1927 Bekerja sebagai guru agama pada di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan.
- 1928, Mengetuai cawangan Muhammadiyah di Padang Panjang.
- 1928 Menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat.
- 1929 Bekerja sebagai guru agama di Padang Panjang.
- 1931 menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar.
- 1932 Menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar.
- 1946 Ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto.
- 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia.
- 1949 Ke Jakarta memulai kariernya sebagai pegawai di Departemen Agama pada masa KH Abdul Wahid Hasyim.
- 1951 hingga tahun 1960 sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia
- 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah.
- 1957 Dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiah, Padang Panjang.
- 1957 meresmikan Universiti Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka atau singkatannya (UHAMKA)
- 1958 Diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta.
- 1958 Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar
- 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjara oleh Presiden Sukarno kerena dituduh mengadakan rapat untuk membunuh menteri agama H. Syaefuddin Zuhri dan telah melakukan makar untuk menggulingkan Negara dengan dibantu 4 juta dolar oleh perdana menteri Malaysia.
- 1974 Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia
- 1977 Prof. Dr. Mukti Ali, Menteri Agama Indonesia melantik HAMKA sebagai Ketua Umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudian meletakkan jabatan itu pada tahun 1981.
IV. PEMIKIRAN HAMKA
Hamka
memiliki banyak karangan dan pemikiran, beliau sampaikan baik
tulisan-tulisan di berbagai media ataupun yang berbentuk buku dan juga
pada setiap kesempatan berpidato. Karangannya yang beliau tulis di
berbagai bidang lebih dari 115 buah. Yang tercatat ada sekitar 79.
Marilah kita bicarakan sebagian dari pada buku-buku dan pemikirannya :
1. Tafsir al-Azhar
Tafsir
besar ini beliau susun atas dorongan dan semangatnya untuk berdakwah
dan membantu para dai, khususnya anak-anak muda yang mana tidak mampu
untuk memahami bahasa arab, tetapi sangat kuat semangat belajar agamanya[3].
1. Memelihara hubungan antara naql dan aql.
2. Dalam menukil pendapat ahli tafsir, beliau menggunakan tinjauan dan pengalaman sendiri. Menurutnya penukilan tanpa tinjauan, adalah menjumudkan pemikiran masyarakat.
Sehingga al-Azhar termasuk dari kitab tafsir bir Ra'yi. HAMKA
mengisyaratkan dan berbicara panjang lebar mengenai hal ini. Lalu beliau
mengakhirinya dengan empat syarat untuk menafsirkan al-Quran dengan
akal yaitu : Mengetahui Bahasa Arab dengan sebaik-baiknya, Tidak
menyalahi dasar-dasar agama yang diterima Nabi, tidak bersikeras dengan
aliran atau madzhab tertentu, ahli dalam bahasa tempat dia ditafsirkan.
3. Mengenai
Isroiliyyat, HAMKA membagi tiga, ada yang sesuai dengan hadist nabi,
ada yang dusta dan ada yang tidak berbahaya atau bermanfaat, macam yang
ketiga ini beliau sesuai dengan pendapat Ibnu Taimiyah yaitu tidak
ditinggalkan dan tidak juga dipercaya.
4. Pertikaian mazhab fiqh tidak dibawakan dalam tafsirnya.
5. Madzhab
yang dianut beliau adalah sebagaimana beliau istilahkan dalam "Haluan
Tafsirnya" yaitu Madzhab Salaf : Madzhab Rosululloh, para Sahabat beliau
dan Ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau.
6. Dalam
hal 'aqidah dan ibadah beliau taslim, artinya menyerah dengan tidak
banyak tanya lagi. Namun tidak semata-mata bertaqlid kepada manusia,
melainkan meninjau mana yang lebih dekat kepada kebenaran untuk diikuti.
7. Pengaruh
Tafsir al-Manar dan Tafsir fi Zilalil Quran Sayyid Qutb terhadap Tafsir
al-Azhar ini. Hal ini nampak jelas bahwa selain membahas hal-hal yang
berkenaan dengan agama, seperti mengenal Tauhid, Fiqh Hadist dll
sebagaimana kedua tafsir tersebut, dipaparkan juga tentang kondisi
sosial masyarakat dan perpolitikan yang saat itu terjadi.
8. Mengenai
pembahasan, Tafsir al-Azhar tidak disusun dengan pembahasan yang
terlalu tinggi dan mendalam, sehingga yang memahaminya bukan hanya ulama
saja, dan juga tidak terlalu rendah sehingga menjemukan.
9. Dalam
menafsirkan ayat-ayat yang berkaitan dengan sebuah disiplin ilmu, maka
beliau meminta tolong kepada ahlinya untuk mengetahui bidang tersebut.
10. Beliau
juga memasukkan riwayat Penafsir yang lemah, namun bukan untuk
dipercayai, tetapi untuk dijadikan bahan olah dan penilaian fikiran.
11. Beliau juga mengutip pendapat dari Ahli Tafsir di tanah air seperti Ahmad Hassan, Mahmud Yunus dan Zainuddin Hamidi.
2. Kritikan HAMKA terhadap Adat Minangkabau.
Barangkali
penulis tidak berkeberatan untuk menyatakan bahwa tokoh kita kali ini
adalah seorang pembaru agama, khususnya di tanah kelahirannya yaitu
minangkabau. Dimana saat itu adat istiadat teramat kuat, diantaranya
banyak yang tidak sesuai dengan agama sehingga membuat HAMKA gerah.
Kalau kita perhatikan lagi dari buku-buku beliau ada beberapa adat
Minangkabau[4] yang menjadi sorotannya yaitu:
- Seorang anak akan mengikut suku dan marga ibunya bukan suku dan marga ayah sebagaimana ketentuan Islam.
- Tanggung jawab terhadap anak dalam satu keluarga adalah pada istri, bukan pada suami.
- Lelaki yang menikah dengan isteri yang berasal dari luar suku Minangkabau, tidak mendapat tempat disana dan dipandang lebih rendah kedudukannya.
- Harta pusaka diwariskan oleh pihak perempuan saja, yaitu isteri dan anak perempuan.
- Bila terjadi perceraian, suami pergi dari rumah isteri dan tidak boleh membawa harta bendanya sedikit pun, melainkan hanya pakaian yang dipakai.
HAMKA
menulis empat buku yang dengan santun mencoba meluruskan adat ini yaitu
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Islam dan Adat Minangkabau , Merantau
ke Deli dan Perubahan Adat Minangkabau.
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck 1937.
Adalah
karya yang bercerita tentang cinta, yaitu kisah antara dua anak
manusia, Zainuddin sebagai anak rantau yang keturunannya telah habis di
kampung halamannya dengan Hayati seorang gadis keturunan terhormat.
Mereka mengikat satu janji setia. Namun dikarenakan adat istiadat saat
itu sangat kental, adalah aib bagi seorang yang berketurunan tinggi
untuk menikahi golongan yang lebih rendah dan miskin, meskipun mereka
berdua telah jatuh cinta. Hingga akhirnya Hayati dinikahkan dengan Aziz
seorang pemuda kaya yang bukan pujaan hatinya dan mengkhianati cintanya
kepada Zainuddin. Singkat cerita Zainuddin kecewa lalu pergi mengembara
ke Surabaya dan berhasil menjagi seorang penulis novel terkenal.
Melalui
novel ini, secara tidak langsung HAMKA mengkritik soal perbedaan status
serta keangkuhan keluarga bangsawan jika martabat wanita lebih tinggi
daripada lelaki. Bagi HAMKA, tiada perbedaan antara manusia Muslim
melainkan ketaqwaan kepada Allah. Didalamnya juga ditekankan tentang
pentingnya bermusyawarah dalam segala urusan kemasyarakatan hingga peringkat Negara.
Dibagian
akhir cerita, ditekankan pentingnya arti sebuah persahabatan meskipun
hati telah dilukai, terbukti dengan ditolongnya Aziz serta istrinya
Hayati mantan pacar Zainuddin saat mereka sulit untuk tinggal di
kediaman Zainuddin. Ditekankan pula tentang kebersamaan dalam
keberagaman tanpa memandang ras, etnis dan keturunan.
Merantau ke Deli 1940
Buku
ini bercerita tentang seorang lelaki Minangkabau yaitu Leman yang
merantau ke Medan, Deli. Ia menikah dengan seorang perempuan suku Jawa
yang bernama Poniem. Meskipun mereka telah hidup bahagia sebagai
saudagar di Kota Medan, namun Leman selalu diperingatkan oleh
keluarganya agar menikah lagi dengan seorang gadis dari kampungnya
sendiri demi menjaga kehormatan keluarga. Karena menurut adat, ia belum
dipandang beristeri kalau tidak menikah dengan suku sendiri.
Disebabkan
desakan dari pihak keluarga dan orang-orang kampungnya, akhirnya Leman
menikah lagi dengan Mariatun, gadis desanya. Namun sejak berpoligami,
bisnisnya tidak berjalan dengan baik. Pada mulanya kedua isterinya
tinggal pada rumah yang berbeda, namun kemudian dikumpulkan menjadi
satu rumah.
Nah
Sejak itulah terjadi percecokan antara Leman dengan Poniem dan antara
Poniem dengan Mariatun. Disebabkan kehidupan rumah tangga yang tidak
lagi stabil, akhirnya Leman menceraikan istri pertama, yaitu Poniem.
Namun bisnisnya tidak separti semula jadi dan akhirnya ia bangkut dan
menjadi orang yang miskin.
Hamka
dalam dalam buku “Merantau ke Deli” menceritakan bahawa pengaruh adat
telah merusak kebahagian rumah tangga Leman dengan Poniem, yang semula
jadi sebagai suami isteri yang hidup bahagia. Pesan penting Hamka dalam
konteks adat Minangkabau adalah bahawa adat memandang rendah wanita yang
dinikahi oleh laki-laki Minangkabau yang berasal dari suku lain. Wanita
suku lain –sebagai isteri- tidak mendapat tempat dalam adat
minangkabau. Beliau juga mengkritik
amalan adat-adat usang yang berlaku dalam masyarakat Minangkabau seperti
campur tangan kaum keluarga yang berlebihan dalam kehidupan berumah
tangga sehingga membawa kepada penceraian.
Islam dan Adat Minangkabau 1946
Buku
ini merupakan uraian Hamka mengenai seluk-beluk adat Minangkabau baik
yang sesuai dengan Islam atau tidak. Didalam bukunya, Hamka mengajak
pembaca khususnya masyarkat Minangkabau untuk memikirkan kearah
perubahan adat, sesuai dengan pepatah “Adat bersendi Syarak dan dan
Syarak Bersendi Kitabullah”. Buku ini terdiri dari enam bagian : Adat
Minangkabau Menghadapi Revolusi, Adat Minangkabau dan Harta Pusaka,
Hubungan Timbal Balik Adat dan Syarak Dalam Kebudayaan Minangkabau, Adat
Nan Kawi, Syarak yang Lazim, Syeikh Ahmad Khatib dan Syeikh Thaher
Jalaluddin serta Muhammadiyah di Minangkabau.
Kritik-kritik beliau ternyata menggelisahkan dan mendapat perlawanan dari pihak ninik mamak[5].
Tentang perlawanan dari ninik-mamak, Hamka berkata: “Ketika buku ini
tersiar nescaya pihak ninik-mamak yang berfaham kolot dengan serta merta
menyatakan kemarahannya, malahan ada pula bermaksud hendak menculik
penulis kerana dipandang hendak meruntuhkan adat”[6].
Buku
“Islam dan Adat Minangkabau” telah mendorong diadakannya Kongres Adat
Minangkabau di Bukit Tinggi pada bulan Mei 1952. Salah satu keputusan
kongres adalah bahawa harta pusaka dibagi dua, yaitu harta pusaka dan
harta pencaharian. Harta pencaharian wajib dibagai menurut hukum
faraidh, separti mana ditentukan oleh Islam[7].
3. Revolusi Agama 1946
Buku
ini juga termasuk buah karya HAMKA, di dalamnya terlihat jelas usaha
beliau untuk mempernbaharui islam di tanah air. Buku tersebut berisikan
antara lain :
- Menolak taklid yaitu amalan menerima sesuatu ajaran secara buta tuli dan sebaliknya beliau menganjurkan penggunaan akal dalam memahami agama.
- Menekankan pentingnya kemerdekaan umat Islam. Buku ini berbicara tentang kebangkitan kemanusiaan, yang mana pada dasarnya kebangkitan agama ditunjukkan dengan kemerdekaan jiwa dan semangat.
- Yang dimaksud dengan kemerdekaan jiwa dan semangat adalah kemerdekaan dalam amar makruf dan nafi mungkar. Yaitu hak untuk menyatakan pendapat yang baik, dan kemerdekaan dalam mengkritik yang salah. Hasilnya, ia membawa kepada pembinaan pemikiran masyarakat yang baik.
- Beliau juga mengaitkan hal ini dengan tahap keimanan seseorang kepada Allah, jika imannya berkurang, maka kita tidak berani untuk bernahi mungkar.
4. Agama Islam dan Perempuan (1939). Kedudukan Perempuan Dalam Islam (1974).
Dalam
menangani isu berkaitan dengan wanita dalam Islam, HAMKA telah
memberikan penjelasan yang bernas mengenai kedudukan wanita dalam Islam
melalui karyanya ini. Isu wanita selalu menjadi mainan dan sering
disalah tafsir oleh pihak Barat dan orang Islam yang cetek
pengetahuannya mengenai Islam. Dalam karyanya itu, beliau telah membela
kedudukan wanita sebagai ibu dan menentang penindasan kaum lelaki
terhadap wanita, terutamanya di Minangkabau yang terkenal dengan adatnya
itu.
Penjelasan yang lain juga beliau bahas dalam bukunya Kedudukan Perempuan Dalam Islam (1974)
yang mana beliau menekankan kemuliaan wanita sebagai ibu, penghormatan
dan kasih sayang terhadapnya serta dan hak-hak wanita. Di samping itu,
beliau mengkritik kepincangan serta amalan barat dalam hal wanita
bermula dengan pandangan yang diberikan oleh kitab Perjanjian Lama
sehinggalah ke zaman moden. Di samping dalam mempertahankan kemurnian
Islam, beliau juga dapat mengukuhkan keyakinan umat Islam terhadap
agamanya.
5. Ketegasan HAMKA
Dalam
memelihara akidah ketegasan beliau dibuktikan melalui Majlis Ulama’
Indonesia (MUI) saat beliau mengeluarkan fatwa yang Melarang untuk
Natalan bersama dan menolak pendapat Menteri Agama. Lantaran itu, pihak
pemerintah mengarahkan agar fatwa itu dicabut. Namun, HAMKA tidak
melakukannya, beliau memilih untuk mengundurkan diri sebagai Ketua MUI.
6. Media Massa
HAMKA
menggunakan media massa sebagai sarana dakwahnya. Ini menandakan bahwa
beliau mengerti benar akan pentingnya media dalam menggolkan suatu hal.
Sejak muda beliau telah memilih media massa untuk keperluan
memyampaikan dakwahnya. Di tahun 1928 Menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat dan Menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar tahun 1932.
Diantara majalah yang beliau terbitkan adalah Majalah
Pedoman Masyarakat dan Majalah Panji Masyarakat atau yang lebih popular
dengan nama Panjimas, majalah ini terbit di Jakarta pada 15 Juni 1959
yang diprakarsai oleh K.H. Mohammad Fakih Usman sebagai Pimpinan Umum,
Hamka dan Yusuf Abdullah Puar sebagai Pemimpin redaksi dan M. Yoesoef
Ahmad sebagai Pemimpin Usaha. Misi majalah ini adalah untuk “Penyebaran
Ilmu selaras dengan perjuangan reformasi dan modernisasi Islam”.[8]
Selain
majalah, beliau juga aktif memberikan ceramah-ceramah di berbagai
tempat seperti mesjid, RRI saat itu ataupun di kaset-kaset seperti
ceramah-ceramah beliau tentang Kajian Tasawuf dan Tafsir al-Quran.
V. PENUTUP
Membaca
karangan-karangan HAMKA baik novel, Tafsir ataupun lainnya serasa tidak
ada bosan-bosannya, selain padat dan tersusun rapih, aroma sastranya
pun sangat kental, sehingga bahasa yang beliau gunakan tidak terlalu
bertele-tele yang membuat pembaca pusing, atau kelewat lebay yang
membuat suasana menjadi bosan. Dilihat dari apa yang beliau tinggalkan
baik dari perjuangannya, buku-bukunya, aktivitasnya, rekaman-rekaman
ceramahnya begitu juga oraganisasi politik social yang beliau jabat,
kita akan berkesimpulan bahwa beliau adalah seorang ulama revolusioner
yang serba bisa atau yang biasa diistilahkan orang sekarang dengan "all
round". Selain itu tidak berlebihan juga kiranya kalau kita katakan
disini bahwa beliau adalah salah satu daripda tiang penyangga bangsa
Indonesia yang sedang tumbuh dan berkembang, bahkan negeri tetangga-pun
ikut belajar dari sosok ulama Indonesia ini. Semoga dapat bermanfaat.
*Disampaikan pada acara Diskusi Reguler bulan Maret 2011 LAKPESDAM NU Sudan.
[1] Haji Abdul Malik Karim Amrullah. www.id.wikipedia.org
[2] Dikumpulkan dari berbagai sumber.
[3] HAMKA, Tafsir al-Azhar, Juz I hal. 4.
[4] Drs. H. Abdullah, M.S, Pemikiran dan Perjuangan Dakwah Hamka dan Kesanya Terhadap Islam di Kawasan Serantau. Hal 13
[5] Para penghulu dan pembesar-pembesar adat, istilahnya orang-orang tua.
[6] HAMKA, Islam dan Adat Minangkabau. Hal. 5.
[7] Drs. H. Abdullah, M.S, Pemikiran dan Perjuangan Dakwah Hamka dan Kesanya Terhadap Islam di Kawasan Serantau. Hal. 14