Oleh : Muhammad Ilham

Konsep “menengah” tidak
dipahami sebagai suatu keluarga atau masyarakat yang berasal dari strata
sosial ekonomi (sebagaimana halnya yang dipahami dalam sosiologi
sebagai sektor primer), tapi untuk kasus HAMKA lebih kepada sektor
“jasa” (tertier). Dengan demikian, maka HAMKA agak berbeda dengan
anak-anak yang lahir pada waktu itu. Lingkungan HAMKA kala ia lahir dan
tumbuh berkembang memungkinkan ia untuk memaksimalkannya secara kreatif
dan optimal. Perkembangan inilah yang kemudian menuntun perkembangan
pribadinya hingga tua. “Faktor Anak” dari Inyiak Rasul merupakan
variabel penting lainnya dalam kehidupan HAMKA. Sang ayah, Inyiak Rasul,
merupakan sistem lingkungan dimana sang Ayah menjadi faktor pembentuk
lingkungan tertentu yang sangat mempengaruhi kesadaran intelektual HAMKA
dan masyarakat sekitarnya, sebagaimana yang ditulis HAMKA dalam bukunya
yang “unik-fenomenal”, Ayahku. Kehadiran Inyiak Rasul dalam masyarakat
Minangkabau kala itu telah melahirkan dan menstimulus lahirnya
dinamika-dinamika tertentu. Konflik-konflik pemikiran “kaum muda-kaum
tua” - sebagaimana yang dikatakan oleh Taufik Abdullah dan Deliar Noer -
hampir secara keseluruhan dimotori oleh ayah HAMKA.
Dalam situasi dan peran sosial ayahnya seperti inilah, HAMKA dibesarkan. Dan sudah barang tentu, bila Inyiak Rasul menginginkan HAMKA, anaknya, menjadi orang besar pula. Inyiak Rasul menginginkan HAMKA “menghampiri” peran dan status sosialnya. Karena itulah, dalam buku-nya Kenang-Kenangan, HAMKA mendeskripsikan “kegirangan” ayahnya ketika HAMKA lahir. Segera setelah HAMKA lahir dan mendengar tangisan melengking, Inyiak Rasul terkejut dari pembaringan dan serentak berkata : ….. “Sepuluh Tahun!!”. Ini kemudian membuat nenek HAMKA bertanya pada Inyiak Rasul, “Apa maksud 10 tahun itu guru mengaji ?” (nampaknya, mertua Inyiak Rasul, orang tua dari ibu HAMKA memanggil Inyiak Rasul dengan “guru-mengaji”, bukan ananda atau Angku - panggilan “guru mengaji” merupakan panggilan penghormatan yang beraurakan profesional). Inyiak Rasul menjawab bahwa HAMKA dalam umur 10 tahun diharapkan dapat belajar di Mekkah. Mekkah kala itu menjadi “kiblat” prestisius pencerahan intelektual, khususnya bagi orang Minangkabau. Harapan ini dikemukakan oleh Inyiak Rasul agar HAMKA dapat mengikuti jejak intelektual “leluhurnya” yang dikenal alim. Dan memang, meskipun HAMKA dalam usia 10 tahun tak belajar di Mekkah, tapi oleh ayahnya, HAMKA di “godok” di Madrasah Thawalib”, suatu institusi dan sistem pendidikan yang tersohor kala itu di Nusantara (bahkan Asia Tenggara). Madrasah Thawalib merupakan eksperimen terbaik dari Inyiak Rasul.
Apabila situasi sang ayah merupakan salah satu faktor dalam membentuk perkembangan intelektual HAMKA, maka faktor lainnya adalah lembaga asimilasi “adat-Islam”. Lembaga ini mempercepat atau meletakkan dasar-dasar situasional bagi HAMKA untuk berkembang. Islam yang datang dari Aceh ke Minangkabau (via-Ulakan), tidaklah menghapus adat istiadat yang telah berkembang sebelumnya. Bahkan menurut HAMKA (termasuk Tan Malaka), adat Minangkabau yang disusun oleh Islam atau dipakai oleh Islam untuk melancarkan kehendaknya, mengatur masyarakat Minangkabau dengan alat yang telah tersedia padanya. Termasuk didalamnya mekanisme pengaturan harta pusaka suku yang turun temurun menurut jalur keibuan (matriarkal). Oleh karena itu, HAMKA menilai bahwa Islam di Minangkabau bukanlah tempelan dalam adat, melainkan suatu susunan Islam yang dibuat menurut pandangan Minangkabau. Dalam situasi “adat-Islam” yang telah terasimilasikan dalam bentuknya yang sedemikian rupa-lah yang menyebabkan proses sosialisasi nilai-nilai Islam berjalan lancar kedalam diri HAMKA. Sebab, disamping masyarakat telah bertingkah laku sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam, juga dalam masyarakat semacam itulah akan tumbuh berkembangnya dengan potensial lembaga-lembaga pendidikan Islam dalam jumlah yang sangat besar menjadi sesuatu hal yang tidak mustahil. Peran sosial serta harapan ayah HAMKA terhadap dirinya diperkuat dengan situasi kemasyarakatan semacam itu.
Namun, dalam konteks pendekatan “penghampiran”, maka dua variabel
tersebut diatas belum cukup melahirkan seorang HAMKA. Faktor-faktor lain
juga harus diperhitungkan. Sebagaimana Rudolf Mrazek dan Harry Poetsze
memperhatikan faktor determinisme geografis dan kampung halaman lahirnya
Tan Malaka dalam membentuk kepribadian Tan Malaka, maka situasi kampung
halaman tempat dimana HAMKA dilahirkan juga menjadi variabel yang cukup
berpengaruh. Hal ini terefleksi dalam buku Kenang-Kenangan Jilid I.
HAMKA, dalam buku ini, mengakui betapa kampung halamannya mempengaruhi
pembentukan pribadinya. HAMKA yang anak ulama besarini dilahirkan di
tepi danau Maninjau, di Tanah Sirah Sungai Batang. Alam yang indah,
sejuk dan inspiratif ini memberikan dan merangsang daya imaginasi
seorang HAMKA. HAMKA menulis : “Tidak mengapa ! anak itu pun duduk
dengan sabarnya memandang danau, memandang biduk, memandang awan,
memandang sawah yang baru dibajak di seberang lubuk dihadapan rumahnya,
mendengar kicau murai, kokok ayam berderai”. “Anak” dalam penceritaan
diatas tak lain tak bukan adalah personifikasi HAMKA sendiri, ketika
mengalami kesendirian ditinggal pengasuhnya, sementara neneknya (yang
biasa dipanggilnya dengan “anduang”) pergi ke sawah, sedangkan ayah
HAMKA (Inyiak Rasul) dan ibunya ada di Padang Panjang, memenuhi
permintaan masyarakat untuk mengajar disana. Ketiga variabel diataslah
yang mempengaruhi perkembangan intelektual dan daya imaginasi serta
kepribadian HAMKA. Untuk “menghampiri” ketokohan HAMKA,
variabel-variable ini harus dilihat sebagai sesuatu yang saling
berinteraksi dan memperkuat satu sama lain. Dan HAMKA berada
“ditengah-tengahnya”. Peran sosial dan harapan Inyiak Rasul bertemu
dengan lingkungan ke-Islaman yang telah melembaga dan terintegrasi dalam
masyarakat. Sementara lingkungan alam memberikan kontribusi
menumbuhkembangkan daya imaginasinya serta memperkuat daya kreasi dan
penerimaannya terhadap peran sosial ayahnya yang ulama besar itu.
http://sejarah.kompasiana.com/2012/03/11/melihat-hamka-dari-tiga-variabel/
http://sejarah.kompasiana.com/2012/03/11/melihat-hamka-dari-tiga-variabel/