Sultan Alam Bagagar Shah


Sultan Terakhir Pagaruyuang

Ketika meletus perang Paderi tahta Pagaruyuang dipegang oleh Raja Muning Shah alias Tuanku Nan Tuah. Raja Muning Shah berhasil menyelamatkan diri dari kejaran kaum Paderi. Raja Muning Shah ini mempersunting Tuan Gadis, tetapi kemudian bercerai dan Tuan Gadis kembali ke Suruasso. ketika itu Raja Muning Shah bersembunyi di Lubuk Jambi. Maka dianggap Sultan Alam Bagagar Shah yang menggantikannya. Tuanku Alam Bagagarshah ini adalah putra dari saudara perempuan jadi menurut adat istiadat negeri ini, merupakan pengganti yang sah dari Raja Muningsyah tersebut. Ia kemudian menjadi Regent Tanah Datar.

Ketika Belanda datang, Sultan Alam Bagagar Shah disertai banyak pemukapemuka adat Minangkabau lainnya, dikumpulkan Belanda dengan dalih untuk “melindungi mereka dari ancaman Paderi”. Waktu itu Belanda sudah mengawal mereka dengan 100 orang serdadu ditambah 2 buah meriam besar.


Peristiwa initerjadi pada 10-2-1821 mereka ketika itu dipaksa dengan ancaman harus menandatangani Pernyataan untuk melepaskan semua tanah Minangkabau kepada Hindia Belanda. Mereka yang menandatangani di bawah ancaman Belanda itu ialah:

- Daulat Yang Dipertuan Sultan Alam Bagagarshah
- Yang Dipertuan Sutan Kerajaan Alam dari Suruasso
- Yang Dipertuan Raja Tangsir Alam dari Suruasso
- Datuak Basuko dan Datuk Mudo dari Batipuah
- Datuak Rajo Mudo dan Datuk Palindih dari Singkarak
- Datuak Rajo Mudo dan Datuk Rajo Bagagar dari Saniangbakar
- Datuak Rajo Nan Sati dari Bungo Tanjuang
- Datuak Gadang Maharajolelo dari Pitalah
- Datuak Sati dari Tanjuang Barulak
- Datuak Rajo Bukik dari Gunuang Rajo
- Datuak Panghulu Basa dari Batusangka
- Datuak Maharajo Lelo dai Sumpua
- Datuak Seripado dari Malalo
- Datuak Nahkoda Intan Datuak Paduko dari Simawang

Sesuai dengan Peraturan (Reglement) Residen Sumatera Barat tgl. 27 Okt. 1823 No. 58, pembagian Pemerintahan di Minangkabau sebagai berikut:

A. Padang Wilayah
1. Regent Padang, 2. Regent Pariaman, 3. Regent Pulau Cinko, 4. Regent Aia Haji;

B. Minangkabau :
1. Regent Tanah Datar, 2. Regent Tanah Datar Di bawah, 3. Regent Agam dan 5 Regent Limopuluah Koto;

Di bawah Regentschap ini ada distrik dan di bawahnya lagi ada Kampung dan Dusun. Di Tapanuli dan Nias yang masa itu tunduk ke Sumatera Barat ada pembagian lain. Pada awal system Regent ini diadakan, Sultan Alam Bagagar Shah menjabat sebagai Regent seluruh Minangkabau, kemudian turun hanya Tanah Datar saja. Kemudian dikeluarkan lagi wilayah Tanah Datar Bawah dari kekuasaannya.

Pada 1824 Tuanku Nan Tuah alias Raja Muning Shah kembali ke Pagaruyuang dari tempat persembunyiannya di Lubuk Jambi. Ia kemudian tinggal dengan sana dibawah jaminan keamanan Belanda dimana tempat itu dijaga oleh pasukan Belanda yang membuat benteng disana sejak tangal 1 Januari 1823.

Raja Muning Shah meninggal di Pagaruyuang pada tahun 1826 . Setelah itu Belanda berencana melenyapkan bekas imperium tua Kerajaan Pagaruyuang dan memecah konsentrasi kekuasaan di Minangkabau Keponakannya, Sultan Alam Bagagarsyah, diangkat sebagai Regent Tanah Datar dan Tuanku Samaik, putra dari salah seorang pendiri Paderi, diangkat sebagai Regent Agam.

Rakyat tidak senang dengan politik pecah belah kekuasaan yang dilakukan Belanda, karena politik licik Belanda agar dengan melalui para Regent (dan bawahannya para Kepala Lareh dan Nagari serta Panghulu kampuang lebih mudah mengutip belasting dan mengatur agar perdagangan rakyat tidak bebas lagi. Sehingga banyak daerah seperti Sumpua, Batipuah, Sungai Bakau dan lain-lain berusaha menghindari pengaruh dan tekanan Belanda.

Sebab itulah kaum Paderi berusaha membunuh Regent Tanah Datar, karena mereka mencurigai politik Belanda dibelakang layar, yang akan melebarkan kekuasaan sampai ke pedalaman Minangkabau. Pada akhir tahun 1832, kaum Paderi pimpinan Tuanku Tambusai dibantu Panglimanya Tuanku Rao, telah hampir menguasai seluruh Tapanuli Selatan khususnya Padang Lawas, yang membuat Belanda serba salah karena takut melanggar perjanjian London 1824 dengan Inggris.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Sentot Ali Basa, yang menurut Belanda berusaha, mengikat kembali rantai perlawanan menentang Belanda di Tanah Minangkabau bersama wilayah Tapanuli Selatan. Menurut laporan Belanda, Sentot Ali Basa, ini sengaja mau menimbulkan kekacauan kembali, dengan maksud agar dia nanti bisa meredakannya sendiri, dengan harapan agar Belanda mengangkat dia jadi raja (Panembahan) disesuatu daerah di Sumatera. Untuk itu ia bersedia bekerja sama dengan Regent Tanah Datar Sultan Alam Bagagar Shah dan dengan Tuanku Nan Cadiak. Makin jelaslah bahwa rencana pemberontakan itu seluruhnya diketahui oleh Ali Basa. Belanda mencurigai Sultan Bagagarsyah berniat mengusir Belanda sehingga mudahlah baginya untuk mendirikan kembali Imperium Tua Pagaruyuang bahkan akan meluaskannya.

Sultan Alam Bagagarsyah secara sembunyi telah memulai perlawanan terhadap Belanda khususnya didaerah Agam dengan 6 distrik, terutama Kamang, Magek, KotoBaru dan penduduk sudah membuat benteng dan barikade dipersimpangan jalan besar pada awal 1833.

Belanda merancang suatu jebakan pada pertemuan besar yang diselenggarakan di Biru, dimana hadir Sentot Ali Basa, Tuanku Sultan Bagagarsyah, Tuanku Nan Ceadiak, Tuanku Alam. Disitu dibacakan sebuah Surat Pengangkatan dari Yang Dipertuan Pagaruyuang Sultan Bagagarsyah yang turut juga ditandatangani oleh Tuanku Imam Bonjol, yang menunjuk Tuanku Alam dari Kaman untuk beroperasi di daerah sebagian dari XII Koto (di pedalaman) dan di daerah 4 Rajo di Kumpulan untuk mengusir Belanda dari tanah Minangkabau. Tuanku Alam langsung ditangkap dan keesokan harinya di hukum pancung oleh Belanda.

Begitu juga Tuanku Nan Cadiak ditangkap dan kemudian dibuang ke Betawi tgl.16-3-1833. Komandan Militer Belanda mendesak agar Sentot Ali Basa segera disingkirkan. Kepada Sentot Ali Basa Residen secara diplomatis meminta agar Sentot berangkat ke Betawi guna melaporkan situasi keamanan disana. Ternyata ia tidak dibolehkan kembali ke Sumatera bahkan kemudian dibuang ke Bengkulu. Tentera Jawa Barisannya tetap di Sumatera dan menjadi bahagian dari tentera Belanda. Mengenai Sultan Alam Bagagar Shah, banyak kalangan Belanda minta agar dia segera disingkirkan, tetapi Residen berpikir menunggu kesempatan yang lebih baik nanti karena Residen menganggap dia lemah pengaruhnya kepada rakyat.

Tetapi setelah saat terakhir ditemukan bukti bahwa Regent Tanah Datar menancapkan pengaruhnya masuk kampung keluar kampung, terutama disekitar bulan April 1833, dan setelah diketahui Belanda bahwa Tuanku Sultan Alam Bagagar Shah menulis surat dan minta bantuan Inggris mengirim pasukan sebagai bantuan dari Singapura kepadanya, maka Residen Elout tidak bisa menunggu lebih lama lagi dan harus segera menangkap Regent Tanah Datar itu. Bahwa Regent Pagaruyuang sudah berbulan-bulan menulis surat kepada Inggris agar mereka memberikan pertolongan melawan Belanda. Residen Elout dengan marahnya mengecam tindak tanduk Sultan Bagagarshah. 

Lalu serta merta disuruhnya pasukan menangkap Sultan Alam Bagagarsyah dan di bawa ke Padang (2 Mei 1833). Ketika perlawanan rakyat makin menjadi-jadi kemudian ia nanti dibawa ke Jawa (Batavia) untuk dibuang disana.

Ternyata 2 hari sesudah penangkapannya, seharusnya Sultan Alam Bagagar Shah akan mengepalai sebuah rapat besar di Sumpu, di mana akan ditentukan jam dan hari serentak pemberontakan terhadap Belanda diseluruh alam Minangkabau. Memang berita penangkapan dan pembuangan Sultan Alam Bagagarsyah menimbulkan aksi luas yang luarbiasa diseluruh Minangkabau. Di bawah pimpinan Regent Buah, yang juga kerabat dari Sultan Bagagar Shah dia, memerintahkan kepada beberapa orang Hulubalang, menyerang Letnan Hendriks, pada malam 12 Mei 1833, tetapi dalam keadaan sekarat Hendriks dapat selamat lari ke benteng.

Kemudian benteng Belanda di Gugung Sigandang dikepung gerilyawan rakyat, di mana komandan benteng, Letnan Tomsos, dapat ditewaskan bersama pasukannya dan benteng dibakar. Di Ambacang, benteng Fort de Kock dan benteng Belanda di Kuriri di kepung dan diserang gerilyawan rakyat. Belanda menunjukkan kekejamannya dengan memenggal 15 orang pejuang rakyat yang dapat tertangkap. Kejadian baru di Sumatera Barat itu membangkitkan ketakutan Belanda akan kemungkinan berulangnya lagi perang besar “Bonjol II”.Sehingga dengan segera didatangkanlah dari Batavia bantuan pasukan sebesar 1100 serdadu bersama dengan Mayor Jenderal Riesz didampingi Komisaris Hindia Belanda, Van den Bosch. Sultan Alam Bagagar Shah dibuang di Batavia dan mangkat di sana 1849.  

http://forum.detik.com/showpost.php?p=6116613&postcount=5
__________________

Template by:

Free Blog Templates