Hukum Menghadiri Penyelenggaraan Jenazah Orang Kafir

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam untuk Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.

Dalam forum Tanya jawab di situs www.Islam-qa.com disebutkan seorang wanita yang baru masuk Islam menanyakan tentang hukum menghadiri upacara penyelenggaraan jenazah orang kafir di gereja.

Muslimah tersebut menceritakan, salah seorang kerabat dekatnya meninggal dunia. Padahal dia adalah orang yang paling dekat dengannya. Wanita tersebut telah ikut menghadiri upacara penyelenggaraan jenazah di Gereja. Kehadirannya di situ hanya duduk menyaksikan upacara tanpa ikut mengucapkan kalimat-kalimat doa yang dibaca jemaat gereja.


Kasus yang dihadapi muslimah tersebut boleh jadi dihadapi salah seorang kita yang hidup di negeri yang pluralitas ini. Karena perasaan pakewuh, sering kali mengalahkan prinsip dalam beragama. Terlebih di tengah-tengah zaman fitnah yang mengagungkan prinsip pluralisme beragama dan toleransi tanpa batas. Karenanya jawaban yang jelas dan tegas perlu diberikan dalam menjawab persoalan-persoalan yang bersinggungan dengan prinsip akidah dan keimanan.

Jawaban yang diberikan oleh tim pengasuh forum Tanya-jawab Islam dalam situs tersebut berusaha kami terjemahkan agar mudah dipahami oleh para pembaca.

Jawaban pertama

Seorang muslim tidak boleh ikut-ikutan mengurusi penyelenggaraan jenazah orang kafir, walaupun dia adalah orang dekatnya. Karena penyelanggaraan jenazah hanya menjadi hak muslim atas muslim lainnya. Itu termasuk bentuk menghormati dan memuliakan serta loyalitas yang tidak boleh diberikan kepada orang kafir.

Saat Abu Thalib, paman Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam meninggal dunia, beliau menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menguburkan jasadnya. Beliau sendiri tidak ikut mengurusnya dan tidak pula menghadiri penguburannya, padahal Abu Thalib dikenal memiliki peran yang sangat lebih dalam membela Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Juga Abu Thalib sangat menyayangi dan sangat baik kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam. Tidak ada yang menghalangi beliau dari bersikap demikian kecuali karena Abu Thalib meninggal di atas kekafiran. Bahkan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam sampai berucap, “Pasti aku akan memintakan ampun untukmu selama aku tidak dilarang.” Lalu turunlah ayat,

مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ

“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni neraka Jahanam.” (QS. Al-Taubah: 113)

Dan turun pula,

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi. . ” (QS. Al-Qashash: 56) (HR. Al-Bukhari no. 3884 dan Muslim no. 24)

Imam Abu Dawud (3214) dan Imam al-Nasai (2006) meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu 'anhu, berkata: “Aku berkata kepada Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, ‘Sesungguhnya pamanmu yang tua lagi sesat telah meninggal dunia.” Beliau bersabda, “Pergi dan kuburkan ayahmu.”

Islam mengajak agar menyambung hubungan baik dengan kerabat dan berbuat baik kepada kerabat yang kafir. Hanya saja Dia memutuskan tali wala’ (kecintaan) antara seorang mukmin dan kafir. Apa saja yang dalam kategori wala’ maka dilarang. Sedangkan yang termasuk kategori berbuat baik dan memberi bantuan selain wala’ maka dilarang.

Imam Malik rahimahullah berkata, “Seorang muslim tidak boleh memandikan (mayat) ayahnya apabila ayahnya tersebut meninggal sebagai orang kafir. Ia tidak boleh mengantarkan jenazahnya dan memasukkannya ke liang kubur. Kecuali dia khawatir jenazahnya terlantar, maka dia menguburnya dengan tanah.” (Dinukil dari al-Mudawanah: 1/261)

Dalam Syarah Muntaha al-Iradaat (1/347) disebutkan, (Janganlah seorang muslim memandikan seorang kafir), karena larangan berwala’ terhadap orang kafir. Juga karena di dalamnya terdapat penghormatan dan penyucian baginya, maka tidak boleh sebagaimana menyalatkannya. Dan tidak didapatkan keterangan tentang memandikan dalam kisah Abu Thalib. Ibnul al-Mundzir berkata, “Tidak ada sunnah yang layak diikuti dalam memandikan seorang musyrik. Dan hadits Ali hanya menyebutkan menguruknya saja.”

(Dan juga tidak boleh mengafani dan menyalatkannya serta tidak boleh mengantarkan jenazahnya), berdasarkan firman Allah Ta’ala:

لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ

“Janganlah kamu menjadikan teman/penolongmu kaum yang dimurkai Allah.” (QS. Al-Mumtahanah: 13)

(Tetapi dia hanya diuruk/dikuburkan) karena tidak ada orang kafir yang menguburkannya. Kejadian ini seperti yang dilakukan terhadap orang-orang kafir pada perang Badar. Kaum muslimin menguburkannya di sumur. . . .” selesai.

Disebutkan juga dalam Kasyaf al-Qana’ (2/123): “(Pasal: Diharamkan seorang muslim memandikan orang kafir, walaupun ia kerabat dekatnya. Diharamkan pula mengakafaninya, menyalatkannya, mengantarkan jenazahnya, atau menguburkannya.) Berdasarkan firman Allah Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan teman/penolongmu kaum yang dimurkai Allah.” (QS. Al-Mumtahanah: 13) memandikan mereka dan semisalnya: bentuk berwala’ kepada mereka, karena hal itu sebagai penghormatan kepada mereka dan menyucikannya, serupa dengan mendoakannya. . . (Kecuali dia tidak mendapati orang selainnya yang menguburkannya. Maka dia menguburkan ketika tidak ada yang menguburkan), karena Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam ketika diberi tahu akan kematian Abu Thalib, maka beliau berkata kepada Ali: “Pergi dan kuburkanlah ia.” HR. Abu Dawud dan al-Nasai. Begitu juga para korban dalam perang Badar, mereka dilempar ke dalam sumur.” Selesai.

Dalam fatwa Lajnah Daimah (9/10) ditanyakan tentang hukum menghadiri jenazah kafir. Padahal itu sudah menjadi kebijakan politik dan kebiasaan yang disepakati.

Dijawab: “Apabila ada orang kafir yang mengurusi penguburannya, maka kaum muslimin tidak boleh ikut mengurusi penguburannya. Mereka tidak boleh bersama-sama dan saling membantu dengan orang-orang kafir dalam menguburkan mayat orang kafir. Atau menunjukkan sikap manis dalam mengantarkan jenazahnya, sesuai dengan tradisi politik. Karena tindakan itu tidak diketahui pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan Khulafa’ Rasyidin. Bahkan, Allah melarang Rasul-Nya berdiri di kuburan Abdullah bin Ubai bin Salul (untuk mendoakannya) dan menjadikan kekafirannya sebagai alasannya. Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ أَبَدًا وَلَا تَقُمْ عَلَى قَبْرِهِ إِنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَاتُوا وَهُمْ فَاسِقُونَ

“Dan janganlah kamu sekali-kali men-shalat-kan (jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasik.” (QS. Al-Taubah: 84)

Dan apabila tidak didapatkan seorangpun yang menguburkannya, maka kaum muslimin menguburkannya sebagaimana yang dilakukan Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam terhadap korban perang badar dan juga terhadap pamannya Abu Thalib ketika wafat. Beliau berkata kepada Ali, “Pergi dan kuburkan ia.”

Syaikh Utsaimin pernah ditanya, “Apakah seorang muslim boleh menyelenggarakan jenazah non-muslim?”

Beliau menjawab, “Seorang muslim tidak boleh mengikuti penyelenggaraan jenazah non-muslim, karena mengantarkan jenazah termasuk hak muslim atas muslim lainnya. dan bukan hak seorang kafir atas muslim. Sebagaimana orang kafir tidak boleh pertama kali disalami dan tidak boleh dilapangkan jalannya sebagaimana sabda Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,

لَا تَبْدَءُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى بِالسَّلَامِ ، وَإِذَا لَقِيتُمْ أَحَدَهُمْ فِي طَرِيقٍ فَاضْطَرُّوهُ إلَى أَضْيَقِهِ

“Jangan mendahului orang Yahudi dan Nasrani dengan ucapan salam, bila kalian bertemu dengan seorang di antara mereka usahakan ia mendapat jalan yang paling sempit.” (HR. Muslim) Maka tidak boleh memuliakannya dengan mengantarkan jenazahnya, siapapun orang kafir itu, walaupun ia orang yang paling dekat denganmu.” (Ringkasan dari Fatawa Nur ‘ala al-Darb)

Seorang muslim tidak boleh ikut-ikutan mengurusi penyelenggaraan jenazah orang kafir, walaupun dia adalah orang dekatnya.

Jawaban Kedua

menghadiri jenazah kafir di gereja lebih parah daripada hanya sekedar mengikuti dan mengantarkannya. Karena menghadiri upacara ini pasti akan mendengar kekufuran dan kebatilan. Ini merupakan perkara yang dilalaikan oleh orang yang membolehkan untuk menghadiri upacara di gereja dan menyaratkan tidak ikut berpartisipasi dalam upacara yang dilaksanakan di sana. Karena duduk-duduk, menyaksikan dan mendengarkan kekufuran dan kebatilan adalah sebuah kemungkaran yang tidak boleh dilakukan.

Allah Ta’ala berfirman,

وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذاً مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعاً

“Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahanam.” (QS. Al-Nisa’: 140)

Imam al-Qurthubi rahimahullaah berkata, “Firman Allah Ta’ala: (Janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain) maksudnya selain kekufuran. (Tentulah kamu serupa dengan mereka): ini menunjukkan wajibnya menjauhi para pelaku maksiat apabila nampak kemungkarannya. Karena orang yang tidak menjauhinya, berarti meridlai perbuatan mereka. Dan ridla terhadap kekufuran adalah kekufuran.

Firman Allah 'Azza wa Jalla, (tentulah kamu serupa dengan mereka) maka setiap orang yang duduk di majelis maksiat dan tidak mengingkari para pelakunya maka ia mendapat dosa yang sama dengan mereka.

Seorang muslim harus mengingkari mereka apabila mereka membicarakan kemaksiatan dan melakukannya. Jika tidak mampu mengingkari, maka ia harus menjauh dari mereka sehingga tidak termasuk orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini.

Telah diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz radhiyallahu 'anhu, beliau pernah menghukum orang yang meminum khamer (minuman keras). Lalu dikatakan kepada beliau, ada salah satu yang hadir, “-saat itu- ia sedang berpuasa.” Beliau tetap menghukumnya, lalu membaca ayat, “tentulah kamu serupa dengan mereka.” Artinya: ridla terhadap kemaksiatan adalah maksiat. Karena inilah beliau menetapkan sanksi atas orang yang berbuat dan yang meridhainya dengan sanksi maksiat sehingga mereka semua dihukum. Penyerupaan ini tidak dalam semua sifat, tapi menyerupakan hukum dzahir terhadap bandingannya. Sebagaimana dikatakan, “Setiap teman mengikuti siapa yang ditemaninya.” Selesai.

Imam al-Jashash dalam Ahkam al-Qur’an (2/407) berkata, “. . . dalam ayat ini terdapat petunjuk wajibnya mengingkati kemungkaran atas pelakunya. Dan di antara bentuk ingkarnya adalah menunjukkan kebencian jika tidak memungkinkan untuk menghilangkannya, tidak duduk bareng bersamanya, dan menjauhinya sehingga dia berhenti dan berganti kepada kondisi yang lain (tidak berbuat mungkar).” Selesai

Kesimpulan

Maka dari sini didapatkan kejelasan bahwa menghadiri upacara penyelenggaraan jenazah di gereja merupakan kemungkaran yang besar karena di dalamnya diperdengarkan kekufuran dan menghadiri perkara bid’ah. Sementara dia yang hadir hanya diam saja, tidak mengingkari. Dan juga hakikat dari menghadiri upacara penyelenggaraan jenazah adalah menghormati, memuliakan dan bentuk kecintaan kepadanya sebagaimana penjelasan di atas. Wallahu a’lam.

[Oleh: Badrul Tamam PurWD/voa-islam/islam-qa]

Template by:

Free Blog Templates