Piaman meliputi dua daerah yang kini menjadi Kota Pariaman dan Kabupaten Padangpariaman. Kedua daerah itu terletak di pantai barat pulau Sumatera yang berhadapan ke lautan Hindia, termasuk dalam Provinsi Sumatera Barat.
(Indonesia: Tabut) sendiri berasal dari kata ‘tabut’, dalam bahasa Arab berarti mengarak. Ada pula yang berartikan, Tabuik sebagai ‘keranda’ atau ‘peti mati’. Sedangkan, pengertian yang lain mengatakan Kota Pariaman (juga sebagai ibukota Kabupaten Padangpariaman) setiap awal bulan Muharram tahun hijriah menggelar Tabuik Piaman. Kata TabuikTabuik adalah peti pusaka peninggalan Nabi Musa yang digunakan untuk menyimpan naskah perjanjian Bani Israel dengan Allah (Rian Sukri:2009).
Orang Minang, termasuk Pariaman, umumnya menyebutkan kata Tabuik berasal dari kata Tabut. Ini disebabkan pengaruh dialek Minang, dimana konsonan akhir huruf “t” akan dilafalkan “ik” seperti takut menjadi takuik, larut menjadi laruik dan sebagainya.
Sedangkan menurut W.J.S Poerwadarminta dalam Ernatib, 2001: 14 pada Kamus Besar Bahasa Indonesia Tabuik atau Tabut adalah sebuah peti yang terbuat dari anyaman bambu yang diberi kertas berwarna, kemudian dibawa arak-arakan pada hari peringatan Hasan dan Husein tanggal 10 Muharram. Upacara Tabuik sekarang telah menjadi agenda tahunan tradisi masyarakat Pariaman setiap tanggal 1-10 Muharram.
Secara harfiah Tabuik berarti peti atau keranda, dihiasi bunga-bungaan dan dekorasi lain, berwarna-warni dan kelengkapan lain yang menggambarkan Buraq (hewan kuda yang berkepala manusia). Secara simbolik, Tabuik menyimbolkan kebesaran Allah SWT yang telah membawa terbang jenazah imam Husein ke langit dengan Buraq, yang meninggal secara mengenaskan saat terjadi perang di Karbala, Madinah.
Tabuik berbentuk bangunan bertingkat tiga terbuat dari kayu, rotan, dan bambu dengan tinggi mencapai 10 meter dan berat sekitar 500 kilogram. Bagian bawah Tabuik berbentuk badan seekor kuda besar bersayap lebar dan berkepala "wanita" cantik berjilbab. Kuda gemuk itu dibuat dari rotan dan bambu dengan dilapisi kain beludru halus warna hitam dan pada empat kakinya terdapat gambar kalajengking menghadap ke atas.
Kuda tersebut merupakan simbol kendaraan Bouraq, dalam cerita tempo dulu adalah kendaraan yang memiliki kemampuan terbang secepat kilat. Pada bagian tengah Tabuik berbentuk gapura petak yang ukurannya makin ke atas makin besar dengan dibalut kain beludru dan kertas hias aneka warna yang ditempelkan dengan motif ukiran khas Minangkabau.
Di bagian bawah dan atas gapura ditancapkan "bungo salapan" (bunga delapan) berbentuk payung dengan dasar kertas warna bermotif ukiran atau batik. Pada bagian puncak Tabuik berbentuk payung besar dibalut kain beludru dan kertas hias yang juga bermotif ukiran. Di atas payung ditancapkan patung burung merpati putih.
Di kaki Tabuik terdapat empat kayu balok bersilang dengan panjang masing- masing balok sekitar 10 meter. Balok-balok itu digunakan untuk menggotong dan "menghoyak" Tabuik yang dilakukan sekitar 50 orang dewasa.
Ada beberapa versi mengenai asal-usul perayaan Tabuik di Pariaman. Versi pertama mengatakan bahwa Tabuik dibawa oleh orang Arab aliran Syiah yang datang ke Pulau Sumatera untuk berdagang. Sedangkan, versi lain (diambil dari catatan Snouck Hurgronje), mengatakan bahwa tradisi Tabuik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang.
Gelombang pertama sekitar abad 14 M, tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Melalui buku itulah ritual Tabuik dipelajari Anak Nagari. Sedangkan, gelombang kedua Tabuik dibawa bangsa Cipei/Sepoy (penganut Islam Syiah) yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Bangsa Cipei/Sepoy ini berasal dari India yang oleh Inggris dijadikan serdadu ketika menguasai (mengambil alih) Bengkulu dari tangan Belanda (Traktat London, 1824). Orang-orang Cipei/Sepoy ini setiap tahun selalu mengadakan ritual untuk memperingati meninggalnya Husein. Lama-kelamaan ritual ini diikuti pula oleh masyarakat yang ada di Bengkulu dan meluas hingga ke Pariaman.
Versi lain menyebutkan Tabuik dibawa oleh penganut Syi’ah dari Timur Tengah ke Pariaman, sebagai peringatan perang Karbala. Upacara ini juga sebagai simbol dan bentuk ekspresi rasa duka yang mendalam dan rasa hormat umat Islam di Pariaman terhadap cucu Nabi Muhammad SAW itu. Sekalipun tidak ditemukan penganut paham Syi’ah di Pariaman.
Ada yang menyebutkan, upacara melabuhkan Tabuik ke laut dilakukan setiap tahun di Pariaman pada 10 Muharram sejak 1831. Upacara ini diperkenalkan oleh Pasukan Tamil Muslim Syi'ah dari India, yang ditempatkan di sini dan kemudian bermukim pada masa kekuasaan Inggris di Sumatera bagian barat. Ada pula yang menyebutkan, festival Tabuik ini telah dimulai pada tahun 1824.
Setelah serdadu Inggris "angkat kaki" dari Bengkulu sebagai konsekwensi perjanjian London 17 Maret 1829, pasukan "Thamil" memilih bertahan dan melarikan diri ke Pariaman, Sumatera Barat, saat itu terkenal sebagai daerah pelabuhan yang ramai di pesisir barat pulau Sumatera.
Karena pasukan Thamil mayoritas muslim, mereka dapat diterima masyarakat Pariaman yang dihuni pemeluk Islam. Terjadilah pembauran dan persatuan termasuk dalam bidang sosial-budaya. Salah satu pembauran budaya ditunjukkan lewat pesta Tabuik. Bahkan Tabuik akhirnya menjadi tradisi yang tidak terpisahkan dari kehidupan warga Pariaman.
Perayaan Tabuik yang bertepatan dengan hari Asyura yakni hari ke-10 pada bulan Muharram dalam kalender Islam. Sedangkan asyura sendiri berarti kesepuluh. Hari Asyura menjadi terkenal karena bagi kalangan Syi'ah dan sebagian Sufi merupakan hari berkabung atas kesyahidan Husain bin Ali, cucu dari Nabi Muhammad Saw pada Pertempuran Karbala tahun 61 H (680). Sedangkan kaum Sunni juga meyakini bahwa Nabi Musa berpuasa pada hari tersebut untuk mengekspresikan kegembiraan kepada Tuhan karena kaum Yahudi sudah terbebas dari Fira'un (exodus). Menurut tradisi Sunni, Muhammad berpuasa pada hari tersebut dan meminta orang pula untuk berpuasa.
Pada masa pra-Islam, 'Asyura diperingati sebagai hari raya resmi bangsa Arab. Pada masa itu orang-orang berpuasa dan bersyukur menyambut 'Asyura. Mereka merayakan hari itu dengan penuh suka cita sebagaimana hari Nawruz yang dijadikan hari raya di negeri Iran.
Sebelum Islam, Hari Asyura sudah menjadi hari peringatan dimana beberapa orang Mekkah biasanya melakukan puasa. Ketika Nabi Muhammad melakukan hijrah ke Madinah, ia mengetahui bahwa Yahudi di daerah tersebut berpuasa pada hari Asyura - bisa jadi saat itu merupakan hari besar Yahudi Yom Kippur. Saat itu, Muhammad menyatakan bahwa Muslim dapat berpuasa pada hari itu.
Dalam sejarah Arab, hari 'Asyura (10 Muharram) juga merupakan hari raya bersejarah. Pada hari tersebut setiap suku mengadakan perayaan dengan mengenakan pakaian baru dan menghiasi kota mereka. Tanggal 10 Muharram 61 H atau tanggal 10 Oktober 680 merupakan hari pertempuran Karbala yang terjadi di Karbala, Iraq sekarang. Pertempuran ini terjadi antara pasukan Bani Hasyim yang dipimpin oleh Husain bin Ali, beranggotakan sekitar 70-an orang melawan pasukan Bani Umayyah yang dipimpin oleh Ibnu Ziyad, atas perintah Yazid bin Muawiyah, khalifah Umayyah saat itu. Pada hari itu hampir semua pasukan Husain bin Ali, termasuk Husain-nya sendiri syahid terbunuh, kecuali pihak perempuan, serta anak Husain yang sakit bernama Ali bin Husain. Kemudian oleh Ibnu Ziyad mereka dibawa menghadap Khalifah di Damaskus, dan kemudian yang selamat dikembalikan ke Madinah.
Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, (hidup dari 3 Sya‘ban 4 H - 10 Muharram 61 H / 8 Januari 626 - 10 Oktober 680 M) adalah cucu dari Nabi Muhammad yang merupakan putra dari Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib. Husain merupakan Imam ketiga bagi kebanyakan sekte Syi'ah, dan Imam kedua bagi yang lain. Ia dihormati oleh Sunni karena ia merupakan Ahlul Bait. Ia juga sangat dihormati kaum Sufi karena menjadi Waliy Mursyid yang ke 2 setelah ayahanda beliau, terutama bagi tarekat Qadiriyyah di seluruh dunia dan tarekat Alawiyyah di Hadramaut. Ia terbunuh sebagai syahid pada Pertempuran Karbala tahun 680 Masehi. Perayaan kesyahidannya disebut sebagai Hari Asyura dan pada hari itu kaum Muslim Syi'ah bersedih. Husain dilahirkan tiga tahun setelah Hijrah ke Madinah (626 M), orang tuanya adalah Ali, sepupu Muhammad dan orang kepercayaannya, dan Fatimah, putri Muhammad. Husain adalah cucu kedua Muhammad.
Wisata Islami
Dilihat dari historis dan latarbelakang munculnya tradisi Tabuik di Pariaman adalah dari peristiwa perang Karbala (tewasnya cucu Nabi Muhammad Saw, Husein), tidaklah salah tradisi ini menjadi wisata Islami. Apalagi pemerintah Kota Pariman sendiri memang sudah menjadikan Tabuik sebagai agenda wisata Kota Pariaman, termasuk agenda pariwisata Provinsi Sumatera Barat. Di Indonesia Tabuik Pariaman satu-satunya, selain Tabot di Bengkulu, yang digelar menyambut hari Asyura, 10 Muharram.
Sebagai potensi wisata, Tabuik memiliki potensi ekonomi yang besar. Potensi itu dapat dilihat dari transaksi pelaku usaha kecil dan sektor pariwisata di Pariaman. Pada pergelaran Tabuik tahun 2008 transaksi usaha kecilnya mencapai Rp7,5 miliar. Nilai transaksi tersebut dengan asumsi terendah seorang pengunjung membelanjakan uangnya Rp 25.000,- saat menyaksikan pesta Tabuik. Sedangkan, jumlah pengunjung pada puncak acara mencapai 300.000 orang dikali Rp 25.000, sehingga diperoleh hasil transaksi secara makro Rp7,5 miliar.
Mungkin secara langsung tidak banyak memberikan sumbangan kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD), tapi dengan beredarnya uang sebanyak Rp 7,5 miliar ketika pergelaran Tabuik, mendorong pergerakan ekonomi masyarakat di Kota Pariaman.
Ke depan, pergelaran Tabuik harus terus dibenahi, dipromosikan ke berbagai penjuru dunia, sehingga momen Tabuik benar-benar mampu mendatangkan lebih banyak wisatawan nusantara maupun mancanegara. Promosi yang selama ini masih belum gencar dilakukan ke luar daerah dan luar negeri, sudah saatnya ditingkatkan. Promosi melalui media elektronik, internet, media online, media cetak (suratkabar, majalah dan brosur) memang dibutuhkan dan harus. Tanpa promosi yang lebih jitu dan gencar, tidak banyak yang bisa diharapkan dari kunjungan wisatawan asing ke Kota Pariaman menyaksikan Tabuik.
Tentu saja promosi yang gencar harus didukung dengan pelayanan dan kemudahan informasi sekaitan Tabuik di Kota Pariaman sendiri. Dari sisi transportasi ke Kota Pariaman sangat mudah dijangkau. Dari Bandara Internasional Minangkabau (BIM), kurang lebih satu jam perjalanan lewat darat dengan angkutan taksi. Sarana transportasi tersebut sangat memadai sehingga memudahkan pengunjung menyaksikan pergelaran Tabuik yang tahun ini bakal digelar 7 hingga 19 Desember 2010.
Selain itu, bagaimana pelaku pengrajin, usaha kecil dan menengah di Pariaman membaca peluang ini lebih jeli. Misalnya membuat souvenir, baju kaos, maupun cendramata yang bercirikan Tabuik. Sehingga pengunjung tidak saja menyaksikan Tabuik digelar, tapi juga mendapatkan kenangan yang berbekas selama di Pariaman.
Sesuai dengan visi pembangunan Kota Pariaman, membangun wisata Islami untuk meningkatkan pendapatan daerah, maka Tabuik harus lebih dikemas dan dikembangkan sebagai wisata Islami. Promosi ke tengah publik haruslah digencarkan bahwa Tabuik merupakan wisata Islami.
Apalagi jika dilihat dari nilai-nilai yang terpenting dalam rangkaian upacara Tabuik mengandung nilai Islami seperti dikutip Ernatip, Zusneli Zubir, dan Siti Rohanah dalam "Upacara Tabuik di Pariaman: Kajian Nilai Budaya dan Fungsi Bagi Masyarakat Pendukungnya".
Pertama, nilai kearifan. Disini terlihat bahwa masyarakat pendukungnya masih mempertahankan nilai kearifan. Setiap memulai dan mengakhiri suatu pekerjaan tetap diikuti dengan pembacaan doa atau mantra.
Kedua, nilai sosial yaitu suatu aturan, norma yang berlaku dalam masyarakat. Dalam kehidupan sehari-hari manusia sering membutuhkan orang lain, sekecil apapun pekerjaan yang akan dilakukan tetap melibatkan orang lain.
Ketiga, nilai seni, berkaitan dengan kreatifitas masyarakat pendukungnya. Nilai seni yang tercermin dalam upacara Tabuik adalah seni musik dan seni lukis. Seni musik yang ditampilkan adalah musik tradisional, dimainkan para pemuda yang ahli dalam memainkan alat-alat musik tradisional seperti gendang. Alat musik tradisional yang digunakan tidak mengurangi meriahnya acara tersebut. Malahan semakin semarak karena para pemainnya memvariasikan irama musik dengan pengunjung, serta acara yang sedang diiringinya.
Selain itu, dalam rentang waktu 1 hingga 10 Muharram hijriah, yang merupakan prosesi Tabuik, dapat pula diselenggarakan berbagai lomba yang bernuansa Islami. Sebutlah lomba baju kuruang (pakaian khas perempuan Minang bernuansa Islami), lomba baca Al Qur’an, lomba azan, lomba shalat jenazah dan lain sebagainya yang diikuti generasi muda di Kota Pariaman. Sehingga pergelaran Tabuik yang semula merupakan tradisi di Kota Pariaman, bisa tumbuh menjadi wisata Islami dan diminati pengunjung dari berbagai daerah.
*Oleh : Bagindo Armaidi Tanjung,Kontributor NU Online di Sumatera Barat