Janganlah Menyerupai Orang Kafir

Ikutilah Rasulmu Dalam Setiap Ucapan Dan Janganlah Menyerupai Orang Kafir
Saya berlindung kepada Allah dari segala godaan setan yang terkutuk

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad), Ra’ina, tetapi katakanlah, Unzhurna, dan Dengarlah. Dan bagi orang-orang kafir siksaan yang pedih.” (Al Baqarah: 104)

Keterangan dan Penjelasan

Ini adalah seruan pertama di antara sekian seruan Tuhan bagi orang-orang yang beriman. Jika Tuhan semesta alam Yang Maha Perkasa dan Maha Agung menyeru kepada hamba-Nya yang beriman, maka seruan-Nya itu dimaksudkan untuk memerintahkan mereka dengan suatu perintah yang sebenarnya bertujuan untuk kebahagiaan dan kesempurnaan mereka sendiri, memberikan petunjuk kepada mereka supaya dapat mendekat kepada-Nya, dan memperoleh ridha-Nya, karena ridha Allah semata yang merupakan tujuan yang paling tinggi bagi setiap orang yang beriman.

Ridha-Mu lebih baik dari seluruh dunia dan segenap isinya
Wahai Penguasa jiwa, baik jiwa yang mulia maupun yang hina
Tiada asa yang diharapkan ruh supaya terwujudkan
Selain ridha-Mu, inilah harapan utama kami
Melihat Engkau, wahai harapanku!
Adalah lebih baik bagiku daripada dunia dan seisinya

Terkadang pula, Tuhan menghimbau orang-orang yang beriman dengan tujuan melarang dan memperingati mereka dari sesuatu yang dapat menyebabkan kesengsaraan mereka. Orang beriman wajib menyambut seruan Tuhannya, baik yang berupa perintah ataupun larangan, agar memperoleh keridhaan Penguasa dunia dan akhirat.


Ketahuilah wahai saudara se-Islam, bahwa sesuangguhnya seruan Allah kepadamu dengan menyebutmu sebagai orang yang beriman adalah suatu kemuliaan bagimu. Jika tidak demikian, maka siapakah sebenarnya dirimu sehingga Tuhan Penguasa kosmos ini menyerumu? Siapakah dirimu sehingga Tuhan Penguasa Langit dan bumi ini menyerumu? Wahai orang-orang yang mengakui Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, serta Al Qur’an sebagai undang-undang! Dengarkanlah dengan kedua telinga kepalamu! Waspadalah tehadap kaum Yahudi! Janganlah kamu mengatakan kepada Rasul saat ia membacakan wahyu Allah Jalla wa’Ala; Ra’ina yang maksudnya agar Rasulullah memperhatikanmu dan agar ia membacakan wahyu Allah secara perlahan sehingga kamu dapat menghafalkannya, karena kaum Yahudi yang keji itu berpura-pura menyerupai ucapanmu, lalu mereka melencengkan lidah mereka dengan kata ini, sehingga tampak seperti kata umpatan. Mereka mengarahkannya kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam untuk menjadi bahan ejekan di kalangan mereka, namun gunakanlah kata lainnya sehingga kaum Yahudi tidak lagi menjadikannya sebagai bahan ejekan, maka katakanlah, Unzhurna dan dengarkanlah dengan baik ketika Rasulullah membacakan wahyu Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah telah menyediakan siksa yang pedih bagi orang-orang yang mengejek Rasulullah Shallallahu Alaihi wa sallam.

Ibnu Katsir berkata, “Allah melarang hamba-Nya yang beriman menyerupai kaum kafir, baik dalam ucapan ataupun perbuatan mereka, karena kaum Yahudi -La’natullah Alaihim- mencermati ungkapan yang dapat diputarbalikkan maksudnya. Ketika mereka ingin berkata, Isma’lana (Dengarkanlah kami), maka kata yang mereka gunaan adalah Ra’ina yang mereka putarbalikkan menjadi Ru’unah, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah yang berbunyi,

“Di antara kaum Yahudi, terdapat orang-orang yang mengubah perkataan dari tempat-tempatnya (yang semula). Mereka berkata: Kami mendengar, tetapi kami tidak mau menurutinya. Mereka (mengatakan pula): Dengarlah!Sedang kamu sebenarnya tidak mendengar apa-apa. Dan (mereka mengatakan): Rai’ina dengan memutar-mutarkan lidahnya da mencela agama. Sekiranya mereka mengatakan: Kami mendengar dan patuh, dengarlah, dan perhatikanlah kami, tentulah itu lebih baik bagi mereka dan lebih tepat, akan tetapi Allah mengutuk mereka, karena kekafiran mereka. Mereka tidak beriman kecuali iman yang sanagt tipis.” (An-Nisaa’: 46)

Demikian pula disebutkan dalam beberapa hadits berbagai berita tentang mereka, jika mereka mengucapkan salam, maka salam yang mereka ucapkan ialah: “Assamu’alaikum”, sedangkan sam berarti kematian, maka dari itu, kita sebagai kaum beriman diperintahkan untuk menjawab salam mereka hanya dengan ucapan, :wa’alaikum” (bagi kalian juga demikian). Karena menjawab itu wajib bagi kita, dan tidak wajib atas mereka. Tujuannya adalah bahwa Allah melarang kamu beriman menyerupai kaum kafir baik dalam ucapan ataupun perbuatan.

Sebab Diturunkannya Seruan Ini

Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma menjelaskan tentang sebab diturunkannya seruan ini sebagai berikut: “Pada mulanya kaum Muslimin berkata Ra’ina kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai permohonan dan keinginan untuk mendapat perhatian. Kata Ra’ina berarti; Perhatikanlah kami! Namun kata ini diubah menjadi umpatan oleh kaum Yahudi, seperti ketika mereka mengatakan, Isma’ (Dengarlah) bukan Sami’tu (Aku mendengarkan)”. Mereka berkata, “Dahulu kami mengatakannya secara diam-diam, namun kini kami mengatakannya secara terang-terangan.” Mereka mempergunakan kata tersebut ditujukan kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam lalu menertawakannya.

Suatu ketika Sa’ad bin Muadz -yang memahami bahasa Yahudi- mendengar ejekan mereka, maka ia pun berkata kepada kaum Yahudi, “Semoga laknat Allah menimpa kalian, sungguh jika aku mendengar ejekan seperti ini keluar dari mulut salah seorang kalian dan dikatakan di hadapan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam niscaya akan aku penggal lehernya.” Kaum Yahudi menjawab, “Bukankah kalian juga mengatakan demikian?” Kemudian Allah menurunkan ayat ini, dan melarang orang-orang yang beriman mengucapkan kata Ra’ina, supaya kata tersebut tidak diputarbalikkan oleh kaum Yahudi dengan tujuan merusakkan maknanya.

Larangan Menyerupai Kaum Kafir

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Aku diutus dengan pedang ketika Hari Kiamat makin dekat, sehingga seluruh manusia menyembah Allah Yang Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Allah menjadikan rezekiku di bawah baying-bayang tombak, merendahkan dan menghina siapa saja yang menentang perintahku. Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.”

Al-Munawi menjelaskan maksud hadits di atas dalam kitab Faidh Al-Qadir, “Siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia dihukumi sama seperti mereka. Karena, suatu maksiat merupakan warisan turun-temurun dari suatu kaum yang telah dimusnahkan oleh Allah. Dengan demikian, homoseksual atau lesbi merupakan warisan dari kaum Luth. Mengambil kelebihan takaran di luar hak yang seharusnya dan menguranginya saat menjualnya merupakan warisan kaum Syu’aib. Berlaku sombong di muka bumi adalah warisan kaum Fir’aun. Angkuh dan takkabur adalah warisan kaum Hud. Barangsiapa yang memiliki sikap seperti mereka, maka ia termasuk golongan mereka.”

Sedangkan Adz-Dzahabi berpendapat, “Allah telah mewajibkan kamu untuk memohon kepada Allah di waktu siang dan malam sebanyak tujuh belas kali supaya diberikan petunjuk kepada jalan yang lurus, “(Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugrahkan nikamt kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (Al Fatihah” 7)

Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjelaskan, “Kaum Yahudi merupakan kaum yang dimurkai, sedangkan kaum Nasrani merupakan kaum yang sesat.” Lalu, bagaimana jiwamu merasa nyaman menyerupai kaum yang demikian kondisinya? Merekalah yang akan menjadi kayu baker neraka Jahanan. Seandainya dikatakan kepadamu,”Kamu seperti keledai” niscaya kamu akan merasa geram dan marah! Bagaimana pula seandainya kamu menyerupai hamba salib, kemanakah kamu akan pergi menghindar dari murka Allah, seandainya Allah tidak mengampunimu? Padahal kamu telah tahu bahwa Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam telah menganjurkan untuk “tampil beda” dalam hal-hal tertentu dengan Ahli Kitab.

Bahkan, sampai uban yang tumbuh di kepala pun merupakan cahaya Islam, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, “Barangsiapa yang tumbuh satu uban (di kepalanya) dalam Islam, niscaya uban itu akan cahaya baginya pada Hari Kiamat.” Selain itu, Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam menganjurkan kita untuk mewarnai rambut dengan daun pacar, supaya berbeda dengan Ahli Kitab, maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Sesungguhnya kaum Yahudi tidak mewarnai rambut mereka dengan daun pacar, maka berbedalah dengan mereka”, dan beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam juga mewajibkan kita untuk berbeda dengan karakterisitik mereka dalam banyak hal.

Dari Abdullah bin Amr Radhiyallahu Anhu berkata, “Barangsiapa yang membuat perayaan dan festivalnya menyerupai ahli Kitab, kemudian ia tetap dalam kondisi demikian sampai meninggal dunia –tidak bertaubat- maka ia akan dihimpun bersama Ahli Kitab itu pada Hari Kiamat.”

Hudzaifah Radhiyallahu Anhu berkata, “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan kaum itu. Apabila pakaian menyerupai pakaian suatu kaum maka akhlak pun akan menyerupai akhlak kaum tersebut.”

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu berkata, “Apabila pakaian menyerupai suatu kaum, niscaya hatinya pun ikut menyerupai akhlak kaum tersebut.”

Imam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata, “Secara tidak langsung, hadits ini mengarah kepada pengharaman menyerupai mereka, meskipun secara lahiriah saja, sebagaimana firman Allah,

“Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (Al Maa’idah:51).

Konteks ayat bisa berarti menyerupai Ahli Kitab secara mutlak yang mengakibatkan kekafiran, atau menyerupai mereka dalam kadar/aspek tertentu; kekafirannya, tren atau karakter, maka hukumnya disesuaikan dengan hal itu. Yang jelas, ayat ini menuntut pengharaman menyerupai mereka di segala segi. Adapun maksud dari penyerupaan di sini adalah umum, mencakup (orang yang berbuat sesuatu) karena ada orang lain melakukan perbuatan itu juga dan (orang yang meniru orang lain) dalam suatu perbuatan dengan tujuan memperoleh perhatian dari orang yang ditiru. Akan tetapi, seandainya ada orang yang mengerjakan sesuatu dan kebetulan ada orang lain yang mengerjakan perbuatan yang sama, sedangkan mereka tidak saling meniru, maka kondisi seperti ini, masih diperselisihkan hukumnya, apakah dikategorikan sebagai penyerupaan atau tidak. Meksipun demikian, pelarangan seluruh bentuk penyerupaaan ini bertujuan supaya tidak menjadi mediator (dzari’ah) menuju inti penyerupaan tersebut.”

Dari Atha’ bin Dinar, bahwasanya Umar bin Al Khathab berkata,”Janganlah kalian pelajari bahasa asing, dan janganlah kalian memasuki gereja-gereja kaum musyrikin pada hari raya mereka, karena sesungguhnya murka Tuhan itu menimpa mereka.”

Inilah Umar Radhiyallahu Anhu yang melarang mempelajari bahasa mereka (ahli kitab) dari lidah-lidah mereka, dan melarang untuk sekedar memasuki gereja dalam rangka merayakan hari raya mereka, lalu bagaimana jika meniru sebagian perbuatan mereka? Atau mengerjakan hal-hal yang menjadi tuntutan agama mereka? Bukankah meniru mereka dalam tindakan itu lebih besar dosanya daripada sekedar meniru bahasa mereka?Bukankah mengerjakan sebagian ritual hari raya mereka itu lebih besar dosanya daripada sekedar memasuki gereja pada saat hari raya mereka? Jika kemurkaan ditimpakan kepada mereka karena perbuatan mereka pada saat hari rayanya, maka barangsiapa yang meniru mereka, baik dalam bentuj tindakan atau dalam bentuk lainnya, berarti ia telah menyiapkan dirinya untuk menerima hukuman atas perbuatannya itu.

Dalam hal ini, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

“Sungguh kalian akan menjalankan tradisi kaum sebelum kaian sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta, sampai seandainya salah seorang dari mereka masuk ke sarang biawak pun, niscaya kalian akan memasukinya, sampai seandainya salah seorang dari mereka menggauli ibunya sendiri di tengah jalan pun niscaya kalian akan mengerjakannya pula.”

Dalam riwayat Al Bukhari dan Muslim disebutkan,”Sungguh kalian akan mengikuti tradisi para pendahulu kalian sejengkal demi jengkal, sehasta demi hasta, sampai seandainya mereka melewati sarang biawak pun, niscaya kalian akan melewatinya.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah., apakah yang dimaksud adalah kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam menjawab, “Siapa lagi kalau bukan mereka?”

Menyerupai Yahudi dan Nasrani Modern

Pada masa sekarang ini, kita senantiasa meniru barat dalam segala hal, baik ucapan maupun tindakan, aktivitas dan sikap, tradisi dan pakaian, dengan keyakinan bahwa merekalah sumber kebudayaan, pusat peradaban dan jalan menuju kebangkitan. Sehingga, kaum wanita pun membuka diri dan telanjang, serta membuka aibnya. Seandainya mereka ditanya tentang hal itu, mereka akan menjawab, “Inilah mode yang lagi ngetrend.” Mereka menganggap kekejian dan keterbukaan (telanjang) ini sebagai mode, padahal Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam telah bersabda, “Wanita manapun yang melepaskan bajunya selain di rumah suaminya, maka sungguh ia telah membuka aib antara diriya dan Allah Azza wa Jalla.”

Al Munawi berkata, “Maksud dari hadits yang berbunyi, “Wanita manapun yang melepaskan bajunya selain di rumah suaminya” ini merupakan kiasan dari menyingkapkan bajunya di hadapan orang asing, tidak menutupi auratnya. Hal ini berrati ia telah membuka aib antara dirinya dan Allah Azza wa Jalla. Karena, Allah telah menurunkan pakaian untuk menutupi tubuhnya, yakni pakaian ketakwaan. Jika wanita tidak bertakwa kepada Allah, dan senantiasa memamerkan tubuhnya, maka ia telah membongkar aib antara dirinya dan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Membongkar aib juga tercermin pada tidak menjaga pandangan dan mengkhianati suami. Maka dari itu, Allah akan membongkar aibnya, dan memberikan ganjaran buruk yang setimpal.

Mode yang hina itu juga telah menjadikan kaum wanita menyerupai kaum lelaki, demikian pula sebaliknya, kaum lelaki menyerupai kaum wanita. Padahal, Allah melaknat golongan seperti ini melalui sabda Rasul-Nya yang berbunyi,”Allah melaknat kaum wanita yang menyerupai kaum lelaki, dan kaum lelaki yang menyerupai kaum wanita.” Adapun penyerupaan yang dimaksud dalam hadits ini adalah penyerupaan dalam berpakaian, berjalan atau ucapan.

Rasul Shallallahu Alaihi wa Sallam juga bersabda,”Allah melaknat kaum lelaki yang memakai pakaian kaum wanita dan wanita yang memakai pakaian lelaki.”

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwasanya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah melaknat kaum waria baik dari lelaki maupun wanita.”

Ibnu Hajar menjelaskan dalam Fath Al Bari, “Imam Ath Thabari berpendapat, “Kaum lelaki tidak boleh menyerupai kaum wanita dalam pakaian dan perhiasan yang memang diciptakan khusus bagi kaum wanita, tidak sebaliknya.” Ibnu Hajar menambahkan, “Demikian pula dalam ucapan dan cara berjalan, sedangkan mengenai model pakaian, maka setiap negara sesalu memiliki mpdel yang berbeda disesuaikan dengan tradisinya.”

Kehormatan dan kesucian wanita telah digantikan dengan keterbukaan dan perhiasan. Salam penghormatan Islam pun telah digantikan dengan kata-kata seperti; Selamat pagi, selamat siang, dan kata-kata lainnya.

Waspadalah, wahai umat Islam, bangkitlah demi agamamu, dan sebarkan misi Islam yang dahulu pernah menjadikan kalian manusia terbaik. Perintahkanlah untuk berbuat kebajikan, laranglah dari berbuat kemungkaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110)

Template by:

Free Blog Templates