By Admin Islampos on March 17, 2013
TAHUN
1968 sekitar bulan September, Menteri Sosial Mintaredja SH (alm),
mengunjungi Buya Hamka menyampaikan pesan penting dari Presiden
Soeharto. Hanya sepuluh menit, Mintaredja datang tergesa-gesa,
meninggalkan Buya Hamka juga dengan langkah tergesa-gesa. Penulis yang
lagi asik membaca koran, dipanggil oleh Buya dan diberitahu pesan
presiden yang baru diterimanya itu.
Isi pesan itu ialah, Presiden
Soeharto merasa amat terkesan pada Khutbah Idhul Fitri Buya Hamka di
Komplek Istana Baitul Rahim, terutama pandangan Buya tentang Pancasila.
Khutbah
itu berjudul “Pancasila akan hampa tanpa Ketuhanan Yang Maha Esa…”,
dimana Buya menguraikan makna sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha
Esa, yang tak lain artinya adalah Tauhid, sama seperti isi risalah yang
berjudul “Urat Tunggang Pancasila” yang ditulisnya sekitar tahun 50-an.
Pada
bagian lain khutbah Buya yang menarik perhatian Pak Harto seperti yang
disampaikan oleh Mintaredja ialah ketika membantah penggolongan Islam
Abangan, dan Islam Putihan, semuanya itu adalah bikinan orang saja yang
bertujuan hendak memecah umat Islam.
Presiden meminta Buya Hamka
menyampaikan pandangan Buya tentang Pancasila itu pada Tengku Daud
Beureueh, pemimpin dari Ulama Aceh yang terkenal. Untuk itu, sekiranya
Buya tidak keberatan, Presiden meminta Buya menemui Tengku Daud Beureueh
langsung dikediamannya di Aceh dalam waktu dekat.
Beberapa hari
sesudah itu, Mintaredja berulangkali berkunjung ke kediaman Buya,
melanjutkan pembicaraan, sampai saat keberangkatan beliau ke Aceh.
Sebagai sekretaris, saya menyertai penerbangan dari Jakarta ke Banda
Aceh, dan ke Beureunuen, desanya Tengku Daud Beureueh.
Dalam perjalanan itulah, saya mengetahui lebih jelas tentang misi Buya menemui Daud Beureueh itu.
“Ini adalah tanggung jawab berat…,” ujar Buya.
Dari Buya saya mendengar tentang kebesarannya Daud Beureueh sebagai pimpinan rakyat, dan hubungan beliau-beliau sejak lama.
Beratnya
tugas itu, ialah karena pada waktu itu di Jakarta tersebar fitnah
tentang terjadinya pengusiran orang Kristen di pulau Banyak wilayah
Aceh, yang dihubung-hubungkan dengan nama Daud Beureueh, tokoh
pemberontakan DI.
Presiden sendiri dalam waktu dekat akan
berkunjung ke Aceh. Oleh sebab itu, segala isu yang mengurangi
keberhasilan kunjungan Presiden itu agar dijauhkan.
Kami tiba di
Aceh, dan disambut oleh Staf Gubernur Muzakir Walad, kemudian
ditempatkan disebuah guest-house milik pemda. Keesokan harinya, sehabis
subuh kami naik mobil juga milik pemda, menuju Beureunun yang jauhnya
kira-kira setengah hari perjalanan dari Banda Aceh.
Daud Beureuh
menanti dipondoknya, yang terketak di depan mesjid yang belum selesai
dibangun. Kedua orang itu berangkulan, karena sudah lama tak bertemu.
Setelah
berbincang-bincang tentang kesehatan masing-masing. Buya memulai dengan
menyampaikan pandangan Beliau tentang Pancasila dan Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa, persis seperti isi buku beliau “Urat Tunggang Pancasila”, dan
isi khutbah di Istana.
“Betul, betul memang begitu” ujar Daud Beureueh yang memanggil Buya Hamka dengan sebutan “tuan”.
Kemudian ganti Daud Beureueh yang berbicara tentang Pancasila.
“Yang
jadi masalah bagi saya ialah keadaan sehari-hari yang jauh berbeda
dengan ucapan-ucapan para pemimpin”, tegas Abu Beureu’eh.
“Kita
percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi kita membiarkan berlakunya
perbuatan-perbuatan syirik, memuja kubur, memuja api, bahkan ada
pemimpin yang ikut melakukannya. Disebutnya juga perjudian yang semakin
meluas. Bukankah itu namanya kita main-main dengan Ketuhanan Yang Maha
Esa”…?, lugas Abu.
Menyinggung perikemanusiaan dan keadilan sosial, Tengku Daud menunjuk kenyataan-kenyataan yang jauh berbeda.
Dengan
wajah serius dan suara berat, Daud waktu itu berumur sekitar 70 tahun,
kemudian menyatakan kekhawatirannya come back-nya PKI, yang sulit
dihindarkan akibat kesenjangan-kesenjangan antara segelintir orang
dengan mayoritas rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan.
“Tolonglah hal ini, tuan sampaikan kepada Presiden”, Pinta Daud.
Buya Hamka menyatakan keyakinan beliau, Bahwa Presiden Soeharto seorang yang benar-benar anti-komunis.
Sehubungan
dengan itu, Buya Hamka menyatakan, “Ulama perlu bekerjasama dengan
Pemerintah. Bila tidak, orang lain yang masuk…”. Ujar Buya.
Pembicaraan pun sampai pada kemungkinan pihak ketiga yang selalu memfitnah mengadu domba umat Islam dengan pemerintah.
Penulis
yang selama pembicaraan duduk menyandar di sudut ruangan, tidak
mengingat lagi seluruh pembicaraan, yang masih tampak ialah pembicaraan
itu berjalan lama, dan diselingi dengan makan siang dan shalat dzuhur.
Ketika sedang makan, penulis menanyakan tentang kasus “Pulau Banyak” pada Abu Daud, bagaimana keadaanya.
“Jelas itu fitnah,” jawab Daud Beureueh.
Antara
orang Aceh dan Nias yang beragama Kristen sejak dulu hidup rukun. Tapi
kenapa sekarang tiba-tiba mereka menyerbu ke Pulau Banyak, mau
mendirikan gereja dan menyiarkan agamanya di tengah-tengah orang Aceh.
Daud menyebut nama beberapa media Kristen di Medan yang
membesar-besarkan berita itu, seolah-olah rakyat Aceh anti-Pancasila dan
akan memberontak melawan pemerintah orde baru.
“Fitnah itu ke itu saja diulang-ulang. dikiranya kita takut digertak…,” kata Abu lagi dengan suara yang serak dan berat.
Pembicaraan
pun beralih pada pekerjaan yang sedang dihadapi oleh Daud Deureueh saat
itu, yang sedang membangun proyek irigasi guna mengairi ratusan hektar
sawah rakyat.
“KECUALI
hari ini, berhubung karena kedatangan Tuan Hamka, biasa saya berada di
Paya Rao…,” ceritanya. Setiap hari dia turut bergotong royong bersama
rakyat di proyek itu.
Sambil tertawa dia kemudian bertanya “Masih
dituduh juga saya anti pembangunan?….” Pembicaraan yang tadinya berjalan
serius kemudian, berakhir dengan suasana penuh gelak tawa.
Beberapa
orang pembantu Daud dan orang-orang Pemda yang mengiringi Buya Hamka
dari Banda Aceh yang tadinya menunggu di luar, ketika waktu makan dan
sholat dzuhur ikut bersama kami sampai pertemuan berakhir.
Para
pejabat itu memberikan penjelasan tentang proyek irigasi yang sedang
dibangun ayah Daud itu. Saya memperhatikan kulit muka dan tangan beliau
yang berwarna hitam terkena sinar matahari.
Beberapa waktu
kemudian saya menyaksikan orang-orang datang bergantian, membawa bata
atau apa saja untuk membangun mesjid -yang waktu itu belum ada dinding
dan lantainya. Ada juga wanita-wanita membawa makanan untuk yang bekerja
di mesjid itu. Jelaslah bagi saya kesibukan Daud Beureueh saat itu,
membangun irigasi dan mesjid.
Buya Hamka memberi isarat dan mohon
diri untuk kembali ke Banda Aceh. Sebelum berpisah, kedua orang itu
kembali berangkulan seperti ketika datang tadi.
“Insya Allah saya
akan datang menjemput Presiden Soeharto, ke lapangan udara Blang
Bintang, bila Beliau tiba di Aceh”, ujar Daud Beureueh.
Sekitar
jam 9 atau jam 10 malam kami tiba di tempat penginapan. Keesokan
harinya, Buya Hamka dijemput oleh Wakil Gubernur, memenuhi undangan
makan siang di rumah Pak Gubernur. Janji Ayah Daud akan menjemput
Presiden di Blang Bintang, rupanya telah lebih dahulu di dengar
orang-orang Gubernur sebelum Buya datang, rupanya yang amat diharapkan.
Beberapa
hari setelah kami tiba di Jakarta, dibeberapa koran terpampang foto
Presiden Soeharto berjabat tangan dengan Daud Deureueh di lapangan udara
ketika beliau berkunjung ke Aceh untuk pertama kalinya.
Demikianlah
pengalaman penulis mengikuti Buya Hamka bertemu dengan Ulama Besar,
yang sebelumnya penulis kenal namanya di koran-koran. Sungguh suatu
pengalaman yang tak terlupakan.
Setelah itu beberapa kali penulis
baca tentang Daud Beureuh, misalnya tentang lawatan beliau ke luar
negeri menjelang pemilu tahun 1971 atas biaya pemerintah. Kemenangan
Parmusi tahun 1971 kemudian PPP dalam pemilu tangun 1977 dan sesudahnya,
akibat sikap ayah Daud yang konsisten memihak partai Islam itu.
Sekitar
tahun 78 Tengku Daud dibawa ke Jakarta untuk beberapa waktu, konon
untuk menjauhkannya dari Gerakan Aceh Merdeka. Terakhir berita-berita
tentang sikap beliau yang berubah memihak Golkar dalam usia menjelang 90
tahun pada pemilu baru lalu (1987-red).
Pada koran-koran yang
terbit, dimuat foto beliau dalam keadaan berbaring dan tak berdaya,
waktu itu konon ayah Daud menyatakan restunya agar Golkar menang di Aceh
dengan kata-katanya “Get, get…”.
Percaya atau tidak, konon berkat
restu itu, pada pemilu 87 untuk pertama kalinya Golkar berhasil meraih
kemenangan di daerah Istimewa Aceh.
Hari Rabu tanggal 10 Juni
(1987) Tengku Daud Beureueh berpulang ke Rahmatullah di Rumah Sakit
Zainoel Abidin Banda Aceh, akibat mengidap penyakit komplikasi beberapa
jenis penyakit lanjut usia : Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Rakyat
Aceh dan segenap kaum Muslimin Indonesia, berduka cita ditinggalkan
seorang ulama dan pemimpin yang tiada gantinya. Nampaknya untuk kurun
waktu yang akan datang, sangat sulit umat Islam mengharap hadirnya
seorang Ulama yang memiliki wibawa yang begitu kuat, pendirian teguh dan
keberanian seperti dimiliki Teungku Daud Beureueh tatkala semasa
hidupnya.
Namun kita percaya, jejak yang ditinggalkanya tidak akan
terhapus begitu saja oleh perkembangan Zaman. Jejak itu terbentang
terus bagi generasi muda Aceh pewaris cita-cita beliau.
Penulis artikel ini (tidak
menyebutkan namanya) adalah sekretaris Buya Hamka, yang menyertai
kunjungan Buya ke Aceh untuk menemui Daud Beurueh (di Beureunuen),
Sesuai amanat yang diberikan oleh Presiden. Penulis menceritakan apa-apa
saja yang penulis dengar dan lihat selama pertemuan tersebut
berlangsung.
Ditulis ulang dari Majalah Panji Masyarakat No. 543.