Siapa yang Pantas Disebut Ulama? Sebuah Nasihat dari Buya HAMKA dan M. Natsir



Ulama adalah figur yang mengakar ke bawah, mengakar pada umat, bukan merambat ke atas pada kekuasaan. Ulama adalah mereka yang alim, tegas, dan sederhana, bukan mereka yang bergelimang dalam gemerlap kemewahan dunia dan toleran pada kemungkaran. Lisannya adalah perisai bagi dakwah, bukan tameng bagi kekuasaan.

Belakangan ini umat Islam dibuat bingung dengan munculnya orang yang mengaku ulama, namun bersikap lunak terhadap kemungkaran, bahkan secara tidak langsung mendukung kemungkaran itu sendiri. Bayangkan, seorang Ketua Umum PBNU seperti Said Aqil Siradj dengan entengnya mengatakan, “Sejuta Lady Gaga, Sejuta Irshad Manji, tidak akan mengurangi keimanan warga NU.” Padahal, jelas-jelas bahwa apa yang dilakukan Lady Gaga dan Irshad Manji adalah kemungkaran yang bisa merusak keimanan. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam saja mengatakan bahawa iman itu terkadang bertambah dan terkadang berkurang. Atau dalam sabda yang lain beliau mengatakan, “Perbaruilah iman kalian…”

Sungguh, alangkah suramnya masa depan kaum Muslimin di negeri ini, jika seorang pemimpin ormas Islamnya tidak percaya diri dengan syariat Islam yang sempurna, yang cukup dan cakap dalam mengatur kehidupan kita dari bangun tidur sampai tidur lagi. Sungguh celaka bagi mereka  percaya bahwa ada ideologi buatan manusia yang mampu mengatur hidup kita, sehingga harus dipertahankan sampai akhir hayat. Ulama seperti ini biasanya menari di atas tabuhan genderang penguasa, menyanyi dalam alunan syahdu kemewahan dan gemerlapnya dunia. Duhai, alangkah nestapanya umat Islam di negeri ini!

Lalu, siapakah yang pantas disebut sebagai ulama? Allahyarham Buya Hamka, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, menulis di Majalah Mimbar Agama, tahun 1951:

“Pemimpin agama; ulama, kiai, labai, ajengan, itulah waris daripada Nabi-nabi. Nabi yang tidak meninggalkan harta benda, tetapi meninggalkan pengajaran dan tuntunan kepada umat manusia. Ulama adalah pelita di waktu sangat gelap. Ulama adalah petunjuk jalan di belukar hidup yang tak tentu arah. Ulama adalah pemberontak kepada kesewenang-wenangan, melawan kezaliman dan aniaya.
Kebesaran ulama terletak dalam jiwa, bukan dalam pakaiannya yang menterang, baik jubah dan serban, atau tasbih dan tongkat kebesaran. Sayangnya ia pada seseorang karena Allah. Dari matanya terpancar cahaya keyakinan dan iman. Mereka berani menyatakan kebenaran, menyaksikan kebenaran, memberikan nasihat, berdasarkan kepada hukum-hukum yang diturunkan Tuhan. Tidak memutar-mutar, memusing-musing arti perintah Allah, karena mengharapkan ridha dari kekuasaan manusia. Sekali-kali tidak sudi  menyembunyikan kebenaran, padahal mereka tahu.

Mereka (ulama) mulia dan bergengsi tinggi karena iman dan kepercayaannya. Kalimat Allahu Akbar, Allah Mahabesar, telah mempengaruhi jalan hidupnya. Maka lantaran itu tidaklah pernah mereka merasa rendah diri terhadap sesama makhluk. Bagaimanapun besar kekuasaan seseorang manusia dan megahnya, namun bagi ulama sudah ada keputusan yang tetap, bahwa kegagahan dan kekuasaan yang tidak terbatas kalau hanya ada pada tangan manusia, tidaklah lebih daripada Namrud dan Fir’aun.

Mereka (ulama) kuat karena tidak pernah menengadahkan tangannya kepada sesama makhluk. Maka oleh karena kuat dan teguhnya semangat ulama, kerap terjadi kepala-kepala negara itulah yang terpaksa mengambil muka kepada ulama…

Ulama yang sejati tidaklah terikat oleh kemegahan nafsu dunia yang fana dan maya ini. Apa yang akan menarik mereka pada dunia? Datang ke dunia tidak berpakaian suatu apa, dan kembali ke akhirat hanya dengan kain kafan tiga lapis. Sebab itu, maka perutnya tidaklah menguasai dadanya, dan kepalanya tidak berat, yang menyebabkan timbul kantuk karena terlalu banyak memakan pemberian orang kaya atau orang-orang berkuasa…

Mereka (ulama) menempuh beribu macam kesulitan, dan mereka tahu akan kesulitan itu. Bilamana mereka telah tertegun melangkah, karena sulit rumitnya yang akan dihadapi, tiba-tiba mereka bangun kembali, sebab terdengung pula kembali di telinga mereka, “Al-Ulama waratsatul Anbiya”, Ulama adalah penyambut warisan Nabi. Lantaran itu, mereka pun berjalan terus…”

Nasihat kepada ulama atau dai juga disuarakan oleh Allahyarham Mohammad Natsir, Perdana Menteri RI (1950-51), pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dalam sebuah tulisannya, Natsir mengatakan:

“Jiwa seorang dai harus merdeka dari sifat ananiyah (egoisme) yang menjerumuskan sang dai pada sikap takabbur, riya’ dan ujub (ingin dikagumi). Jika sifat ananiyah sudah masuk ke dalam niat tempat bertolak, maka akan muncul sikap hendak memenuhi selera orang banyak, yang ujung-ujungnya kembali kepada selera “aku” pribadinya.

Di antara sikap ananiyah yang bisa hinggap pada seorang dai adalah hubbul maal (cinta harta), hubbul jaah (cinta pangkat dan jabatan), ingin dilihat dan dipuji banyak orang. Semua itu bersumber dari keinginan memperoleh balas jasa dalam arti lahir dan batin. Di bawah kekuasaan hawa ananiyah ini, seorang mubaligh mudah sekali melakukan bermacam pantangan dakwah, seperti berteras keluar, menjual tampang, berpantang rujuk, menghela surut meskipun sudah nyata keliru fatwa. Kemudian Tajammul (mencari muka) dengan mendekatkan diri mencari kesayangan orang yang berkuasa. Kalau sudah begitu, seorang mubalig atau ulama akan kehilangan harga diri, yang menjadikan lidahnya kaku, jiwanya kecut!”

Ulama adalah mereka yang berada dalam barisan kaum Muslimin, bukan berada dalam barisan penguasa, apalagi penguasa yang zalim dan aniaya. Ulama harus mengakar ke bawah, bukan merambat ke atas, menjalar perlahan-lahan dalam lingkar kekuasaan. Ulama seperti ini tak lebih dari stempel penguasa, bukan pengontrol kekuasaan.

Saat ini, kita menyaksikan banyak orang yang mengaku ulama, dai, habib dan ustadz, namun lebih senang merapat pada penguasa ketimbang umat Islam. Lisannya digunakan sebagai alat kekuasaan, bahkan menjilat dengan terang-terangan. Ketika pemerintah bermaksiat, lidahnya kelu dan kaku, tak mampu menyuarakan kebenaran. Kita butuh figur ulama yang tegas,  alim, dan sederhana, yang tidak menjadikan penguasa sebagai tempat bersandar, apalagi tempat menggelembungkan pundi-pundi kekayaan.

Kita butuh ulama yang berani menyatakan kebenaran di hadapan penguasa, bukan ulama tajammul, yang bisanya Cuma berbasa-basi dan mencari muka dengan kekuasaan. (Artawijaya)

Template by:

Free Blog Templates