Dalam dekade terakhir ini studi migrasi kelompok-kelompok etnis makin
menjadi perhatian para ahli karena efeknya yang cukup signifikan
terhadap situasi demografis dan dinamika sosio-politik dunia.
Pada tahun 2006 Forum Permanen Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai
Penduduk Asli (UNFPII) mengatakan bahwa tren, dinamika, dan impak dari
migrasi kelompok-kelompok penduduk asli belum sepenuhnya dipelajari.
Berbeda dari masa-masa sebelumnya, studi kontemporer mengenai
fenomena ini juga menganalis pengaruh media modern terhadap etnis-etnis
migran (diasporic indigenous) dalam kaitannya dengan
bagaimana mereka membangun atau merekonstruksi identitas, komunitas,
dan aktivisme di perantauan serta memandang etnisitas sendiri.
Di zaman ini media internet telah digunakan oleh berbagai komunitas
diaspora tersebut untuk menyoroti memori kolektif dan identitas lokal. E-mail groups dan facebook groups telah menyediakan sebuah tempat baru bagi orang-orang seetnis yang sudah tinggal berjauhan untuk saling berhubungan.
Komunitas Minangkabau di Dunia Maya
Etnis Minangkabau jelas merupakan contoh yang menarik untuk
mengamati fenomena diaspora komunitas etnis, pencarian identitas, dan
pengaruh media modern. Artikel ini mendiskusikan interaksi translokal
orang Minangkabau di seluruh dunia melalui keanggotaan mereka dalam
berbagai e-mail groups dan facebook-groups (fb-groups).
Walaupun aspek kultural tradisi merantau Minangkabau sudah pernah
diteliti (lihat mis.: Mochtar Naim 1973; Tsuyoshi Kato 1982), namun
penelitian-penelitian tersebut tidak menyinggung peran media, karena
pada waktu itu memang fenomena media komunikasi modern seperti internet
dan facebook belum muncul dan belum mempengaruhi banyak orang seperti
sekarang ini.
Sekarang telah bermunculan banyak e-mail group dan fb-group yang ‘berlabel’ Minangkabau. Demikianlah umpamanya ada e-mail group ‘RantauNet’, ‘CimbuakNet’, fb group
‘Palanta R@antaunet’, ‘Adat Minangkabau yang Berdasarkan ABS-SBK’,
‘Benarkah Adat Minang Bersendikan Syarak?’, ‘Atheis Minangkabau’,
‘Palanta Urang Awak Minangkabau’, ‘PKDP (Persatuan Keluarga Daerah
Pariaman)’, ‘Kembali ke Ranah Minang’, ‘Rumah Gadang’, ‘Pelurusan Adat
Minangkabau yang Berdasarkan ABS-SBK’, dan ‘Perjalanan Islam dan
Penyempurnaan Adat Minangkabau’ – untuk sekedar menyebut contoh.
Beberapa e-mail group dan fb group juga menyajikan radio streaming bernuansa Minangkabau yang bisa diakses secara online.
Para anggota e-mail groups dan fb groups tersebut,
yang tampaknya memiliki latar belakang pendidikan dan profesi yang
berbeda-beda, tinggal di berbagai rantau maupun di kampung (Sumatra
Barat). Kemudahan yang diberikan oleh media internet telah
memungkinkan mereka ‘mertemu’ dan saling berinteraksi di ‘ranah
Minangkabau maya’, membuat ranah realis sendiri (Sumatra Barat) merasa
dekat, seperti terefleksi dalam motto salah seorang partisipan: ‘Kampuang nan jauah di mato, dakek di jari’ (Is St Marajo, dikutip dari e-mail group
‘RantauNet’; maksudnya: Ranah Minang yang jauh di mata tapi terasa
begitu dekat dengan hanya mengetik sesuatu dengan jari di komputer atau
HP).
Topik-topik Perdebatan
Dengan cara pengamatan terlibat selama beberapa bulan, saya mencoba
mencatat topik-topik perbincangan (lebih sering sebenarnya dalam bentuk
perdebatan yang sering sampai saling hujat-menghujat) yang menonjol
dalam e-mail groups dan fb groups yang berlabel ‘Minangkabau’ tersebut. Namun demikian, setiap e-mail group atau fb group memiliki perbedaan karakter dalam model diskusi dan perdebatan – ada yang sangat radikal dan ada yang moderat.
Umumnya topik-topik perdebatan di forum-forum e-mail group dan fb group Minangkabau itu terkait erat dengan sistem matrilineal Minangkabau versus Islam.
Perdebatan mengenai topik ini sangat intens. Satu pihak menginginkan
agar sistem matrilineal dihapuskan di Minangkabau dan diganti dengan
sistem yang menurut mereka sesuai dengan syariat Islam. Namun, tentu
saja hal ini mendapat bantahan dari pendukung sistem ini. Pihak yang
anti sistem matrilineal meniru perilaku binatang, menganggap bahwa
anak-anak Minangkabau tak ubahnya seperti anak zina (bahkan sampai
dipakai istilah ‘anak anjing’) karena di dalam ranji kaum tidak
dicatat siapa ayahnya. Akan tetapi pihak yang ingin mempertahankan
sistem ini membantah bahwa ranji disusun bukan untuk mencatat keturunan,
tapi untuk merekam hubungan keluarga untuk menegaskan jalur pewarisan
harta pusaka tinggi (HPT).
Pihak yang anti sistem matrilineal menganggap sistem sosial
Minangkabau tidak sesuai dengan Islam, dan oleh karenanya harus diubah
total menjadi sistem patrilineal, sebagaimana yang berlaku umum di
dunia, di mana ayah menjadi figur sentral melalui mana garis keturunan
ditarik. Pembela sistem matrilineal menganggap bahwa sistem itu – yang,
uniknya, dapat hidup berdampingan dengan Islam – justru harus
dipertahankan dan mestinya membuat orang Minangkabau bangga kepada
kebudayaannya sendiri.
Tentu saja perdebatan seperti di atas sudah lama terjadi, sejak
zaman Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi kontra Mahyuddin Dt. Sutan
Maharadja di awal abad 20 sampai sekarang. Saafroedin Bahar dan M
Zulfan Tadjoeddin (2004:18-21) bahkan sampai penganggap sistem
matrilineal Minangkabau berpotensi melanggar hukum internasional hak
azasi manusia dan hukum pidana nasional. Argumen itu –lebih-lebih jika
dikaitkan dengan posisi Saafroedin Bahar sebagai salah seorang aktivis
pembela masyarakat adat – terkesan ambigu karena sebuah sistem budaya
etnik telah diukur dengan kriteria-kriteria di luarnya. Jika ukuran
seperti itu dilakukan, pasti akan ditemukan masalah dalam sistem budaya
dari ratusan etnik lainnya yang ada di Indonesia.
Perdebataan mengenai sistem mantrilineal ini tentu saja terkait
dengan banyak aspek lainnya dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.
Demikianlah umpamanya, masalah pewarisan HPT dan harta pusaka rendah
(HPR) juga menjadi salah satu topik yang hangat. Satu pihak mendesak
agar HPT dan HPR diwariskan menurut syariat Islam yang tentu saja tidak
memberi ruang lagi kepada kemenakan. Ide ini tentu saja dibantah oleh
kelompok yang menganggap konsep ABS-SBK yang berlaku sekarang sudah
ideal. Terkait dengan hal ini, ramai pula diperdebatkan soal hak waris
dan status anak-anak dari perkawinan antar etnis (ibu Minangkabau, ayah
etnis lain atau sebaliknya).
Muncul berbagai ide-ide baru yang dianggap dapat memberikan solusi:
misalnya ide untuk membuat ranji ABS-SBK (yang mencatatkan ayah dari
anak-anak), mengubah status HPT dan tanah ulayat, merumuskan strategi
baru untuk menyatukan orang Minangkabau di tingkat supra nagari, dan menghapuskan tanggung jawab mamak
kepada kemenakan. Yang terakhir ini terkait dengan munculnya keluhan
terhadap peran ganda laki-laki Minang – seperti terefleksi dalam
ungkapan ‘anak dipangku, kamanakan dibimbiang’ – yang dianggap sulit dipikul oleh laki-laki Minang zaman sekarang.
Konsep nasab dan suku diperdebatkan pula. Apa sesungguhnya nasab dan suku
dalam konteks kebudayaan Minangkabau? Apakah keduanya substitutif atau
berbeda? Konsep ‘bernasab ke ayah, bersuku ke ibu, bersako ke mamak’
yang konon pernah dikemukakan oleh Buya Mas’ed Abidin diperdebatkan
dengan sengit. Terkait dengan ini diperbincangkan pula konsep anak pisang dan induak bako.
Langsung atau tidak, hal ini terkait dengan posisi suami dalam keluarga
yang diibaratkan seperti ‘abu di atas tunggul’ atau ‘lalat di ekor
kerbau’. Pihak yang anti sistem matrilineal mengeritik keras konsep ini
yang mereka anggap melecehkan peran dan tanggung jawab suami dalam
keluarga Minangkabau.
Isu lain yang diperdebatkan adalah tentang daulat Pagaruyung dan
status keluarga diraja, baik Raja Alam, Raja Adat, maupun Raja Ibadat.
Gelapnya sejarah Minangkabau pra Paderi diperdebatkan dengan berbagai
macam interpretasi.
Akhirnya, perubahan-perubahan sosial di ranah sendiri (Sumatra
Barat) juga tak luput dari perbincangan. Pengaruh asing, baik yang
bersifat material maupun non-material, dinilai sudah menggoyahan
masyarakat Minangkabau. Dalam konteks ini, penerapan ajaran Islam
yang total dianggap sebagai satu-satunya solusi untuk menyelamatkan
masyarakat Minangkabau dari pengaruh asing itu.
Menarik diamati bahwa perdebatan-perdebatan sengit sering dipicu oleh
percanggahan interpretasi terhadap ungkapan-ungkapan adat Minangkabau
yang pada umumnya merepresentasikan gejala alam, sesuai dengan
falsafah etnis Minangkabau: ‘alam takambang jadi guru’.
Rupanya generasi yang tidak lagi merasakan dan mengenal basis geografis
ungkapan-ungkapan tersebut tidak mengerti lagi maksudnya yang tersirat
dan cenderung memaknainya secara denotatif. Kiranya fenomena
etnolinguistik yang menarik ini perlu dikaji lebih dalam.
Translokalitas dan Komunikasi Internet
Seperti ditunjukkan oleh beberapa kajian mengenai aspek kultural
globalisasi (mis.: Lee 2006; Watson 2010; Longboan 2011), para peserta
forum-forum e-mail group dan fb group, seperti komunitas-komunitas Minangkabau maya, cenderung memperbincangkan kebudayaan asli (authentic cultures)
dan upaya untuk memproteksinya dari pengaruh Westernisasi. Namun, dalam
konteks ini, kebudayaan asli itu juga dipandang secara kritis dalam
aspek mana pengaruh budaya Barat cenderung ditolak dan, sebaliknya,
dalam konteks Minangkabau, pengaruh Islam selalu ingin diperkuat.
Forum-forum keminangkabauan di dunia maya tersebut menunjukkan
bahwa etnis Minangkabau, yang sudah mengalami mobilitas geografis
yang luar biasa akibat tradisi merantau, terus-menerus
mengartikulasikan dan mereproduksi identitas asli (indigenous identites) mereka jauh di luar batas geografi yang real (Sumatra Barat). Di sini saya meminjam istilah translocality
(translokalitas) dari Arjun Appadurai (1995) untuk menunjukkan
hubungan emosional antara para perantau Minang yang jauh melewati
batas-batas geografis etnis atau nasion yang real. Banyak penelitian
sudah dilakukan tentang bagaimana peran media elektronik seperti
internet (dan sekarang facebook) dalam menciptakan lingkungan virtual (virtual neighbourhods) yang terkait erat dengan anggota komunitas yang tinggal di kampung (lived-in local neighbourhoods).
Pengamatan terhadap komunitas-komunitas Minangkabau maya, seperti
telah dijelaskan di atas, menunjukkan bahwa gejala translokal dari
komunikasi diaspora yang dimungkinkan oleh media komunikasi modern
telah membentuk tidak hanya relasi yang mencakup daerah yang
berbeda-beda tetapi juga membentuk lokalitas itu sendiri yang
melaluinya selalu tercermin dikotomi antara tempat (place) dan ruang (space) dan antara yang lokal dan yang global.
Artikel ini baru merupakan perbincangan awal, yang lebih dimaksudkan
sebagai refleksi akhir tahun (dan menyambut awal 2012) tentang
keminangkabauan. Lepas dari itu, fenomena etnisitas dalam komunitas
dunia maya, Minangkabau khususnya, jelas merupakan objek penelitian yang
menarik dalam konteks studi mengenai budaya media (media culture)
di Indonesia. Penelitian menegenai hal ini tentu dapat pula memberikan
manfaat praktis, setidaknya untuk memetakan pandangan dan pemikiran
perantau Minang dengan ranah bundanya serta manfaat (dan mudarat)
mereka bagi Sumatra Barat sendiri.
SURYADI
(Dosen/peneliti di Leiden University Institute or Area Studies (LIAS) Leiden, Belanda) |