Cermin Hati
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEizWmbLGPXaYrerUMba9RGYCGylNWg_FVi2iDJT0mPqlnDbPmBOkrU7_lr6wlygpNl0Wd4omv_nOxt4g6LG_UCUk8sleo0AHR_8aS2llq5VrOOyDT_ik-UUCG6GkXzhJuP3uWne8g8X7qw/s320/Cermin_Hati.jpg)
Jika cermin yang bersifat dhahir saja sudah begitu banyak manfaatnya, apalagi dengan cermin hati! Rasulullah Saw telah menginformasikan kepada kita bahwa orang mukmin itu ibarat cermin bagi mukmin lainnya. Artinya, getaran aura orang mukmin itu bisa memantul kepada orang mukmin lainnya. Menjadi satu-kesatuan seolah tak terpisahkan.
Menurut Sayid ‘Abdullah bin Husein bin Thohir r.a, sabda Rasulullah—“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin lainnya”—itu mengandung jawami’ul kalim (kalimat yang singkat, tetapi sarat dengan makna). Artinya, hadits Rasulullah bisa dipahami oleh seseorang sesuai dengan pemahaman dan cahaya yang diberikan Allah kepadanya, baik yang bersifat lahiriah maupun batiniah.
Hati yang bersih itu adalah seperti cermin yang bening dan terang. Dengan keadaan hati yang bening seperti itu, hamba Allah tersebut mampu “menangkap” hakikat segala sesuatu yang terukir di Lauh Mahfuzd. Begitu hijab (tabir) terangkat dan cermin berada di hadapan Lauh Mahfuzd, tersingkaplah hakikat-hakikat ilmu dan terangkatnya tabir, terkadang di waktu tidur dan terkadang dalam keadaan terjaga, dan itulah kebiasaan Sufi. Dan terkadang dengan tiupan angin lembut tanpa sebab dari pihak hamba atau persiapan, sehingga berkilau di dalam hati dari belakang tabir keajaiban suatu keajaiban ilmu. Dan, menurut Al-Ghazali, puncak penyingkapan seperti itu ketika datang kematian, di mana hijab terangkat seluruhnya. Itulah yang dimaksud sabda Nabi Saw: “Semua manusia dalam keadaan tidur, maka apabila sudah mati, mereka pun terbangun.”
Hamba Allah yang telah tersingkap tabir (hijab) dikenal dengan kasyaf. Dan, itulah yang dimaksudkan perumpamaan bahwa hati orang mukmin seperti cermin. Dari cermin tersebut kemudian didapatkan ilmu-ilmu hakikat, perumpamaannya adalah seperti gambar-gambar yang terlihat di dalam cermin.
Berbahagialah Umar Bin Khathab yang hatinya selalu melihat Tuhan, sehingga Allah pun menyucikan hatinya. Begitu pula dengan Abu Bakar Ash-Shidiq; sebagaimana sabda Rasulullah: “Andaikata iman Abu Bakar ditimbang dengan iman seluruh alam selain para nabi, niscaya unggullah iman Abu Bakar.”
Memang, demikianlah bahwa hati manusia itu ada empat macam, yakni;
Pertama, hati yang terang seperti lampu, itulah hati orang mukmin.
Kedua, hati yang gelap dan terbalik, itulah hati orang kafir.
Ketiga, hati yang tertutup dan terikat pada tutupnya, itulah hati munafik.
Keempat, hati yang berlapis di mana terdapat iman dan sifat munafik.
Menurut Nabi Saw, hati manusia pun bisa berkarat seperti besi yang juga berkarat. Ada yang bertanya: “Bagaimana menghilangkannya?” Rasulullah menjawab: “Mengingat mati dan membaca al-Qur’an.”
Dari buku; Cermin Hati; Perjalanan Rohani Menuju Ilahi, Penerbit Tiga Serangkai Solo, 2006.
CERMIN DAN HATI
Tuesday, July 19, 2011 12:31:11 AM
Cermin yang kotor, berdebu, dan kusam bisa dipastikan tidak akan mampu memantulkan kembali cahaya. Kita pun tidak akan bisa melihat dengan baik keadaan diri kita. Dalam keadaan cermin demikian paling tidak ada duakemungkinannya.
Pertama, karena cermin tersebut tidak pernah dibersihkan dan disentuh sama sekali. Atau
kedua, karena cermin tersebut dipalingkan danmenyamping atau membelakangi sumber cahaya. Karena kedua hal tersebut, cermin menjadi kotor bahkan hitam dan pekat.
Demikian halnya dengan hati manusia. Ibaratsebuah cermin, maka hati yang kotor, rusak, dan gelap bisa dipastikan tidak akan mampumemantulkan kembali cahayanya. Kita pun tidakbisa melihat dengan baik segala kekurangan dankelemahan kita. Kita sama sekali tidak bisabecermin dan mengambil sesuatu darinya.
Penyebab keadaan hati kotor, hitam, dan pekat,bisa karena dua hal. Pertama, hati kita tidak pernah dibersihkan dengan tingkat kebeningan yang sempurna. Malah sering kita tempelkan dengan noda hitam maksiat dan lumpur pekatdari aneka pengkhianatan dandosa. “Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka dan penglihatan mereka ditutup. Dan, bagi mereka siksa yang amat berat.” (QS al-Baqarah [2]: 7).Rasulullah SAW mengingatkan kita dalam sabdanya, “Setiap sesuatu ada pembersihnya.
Dan pembersih hati yang kotor adalah zikrullah.”
Kedua, hati kita tidak diarahkan kepada sumbercahaya. Ia sering berpaling, menyerong, dan menyamping dari cahaya. Bahkan, membelakangi sumber cahaya. Keadaan hati kitalebih sering diarahkan kepada sumber-sumber yang kotor atau kecipratan banyak kotoran dannoda hitam. Jika sumber cahaya adalah Allah (QSan-Nuur [18]: 35), maka sumber kotoran adalah setan. Seperti disebut dalam sebuah maqalah,“Hati ibarat sebuah wadah. Jika tidak pernah diisi dengan zikrullah maka wadah tersebut akan
penuh dengan kotoran setan.”
Orang yang bersih dari dosa, hatinya bagaikan cermin yang bening, akan begitu mudah untuk berkaca diri. Orang yang suka mengerjakan dosa-dosa kecil, hatinya buram bagaikan cermin yang berdebu, jika digunakan kurang jelas hasilnya. Orang yang suka melakukan dosabesar, hatinya gelap, bagaikan cermin yang tersiram cat hitam.
Sedangkan orang yang suka mencampuradukkanperbuatan baik dengan dosa, hatinya kacaubagaikan cermin yang retak-retak, jika digunakanakan menghasilkan visual yang tidak benar.
Adapun hati yang sudah tumpul dan mati karena pekatnya dosa, seyogianya didekati dengan alatdan energi baru, yakni melalui mujahadahdan riyadhah.Mujahadah itu adalah taubat yang serius (taubatannashuha) dan berikrar untuk taat.Sementara riyadhah, ridha untuk istiqamahmenghidupkan sunah Nabi SAW dimulaidengan qiyamul lail, tadabburQuran, shalatberjamaah di masjid, shalat dhuha, menjagawudhu, sedekah, dan terus berzikir kepada Allah.
Dengan begitu, niscaya, hati akan kembalimemantulkan cahaya, seperti cermin yangkembali bercahaya.
(OlehUstaz Muhammad Arifin Ilham)